REPUBLIKA.CO.ID, — Kitab Manthiq al-Thair karya Fariduddin Attar (1145-1220), menyebutkan kisah penuh hikmah, yakni sebanyak 30 ekor burung melakukan perjalanan untuk menjumpai Simorgh.
Dalam terjemahan bahasa Inggris atas kitab Manthiq al-Thair, Simorgh disepadankan dengan Phoenix(Feniks), yakni sejenis burung api yang kerap muncul di kisah-kisah mitologi.
Untuk sampai ke lokasi tempat sang legenda berada, Gunung Kaf, mereka dipimpin burung Hudhud yang bijaksana. Setelah melalui fase ketujuh, yaitu Lembah Kefakiran dan Kefanaan, para burung tersebut menemukan bahwa Simorgh tak lain adalah hakikat diri mereka sendiri.
Ya, ketika burung-burung itu mencapai akhir perjalanan panjang, tampak di depan mata mereka puncak Gunung Kaf bersinar amat terang. Semuanya terpukau menyaksikan pemandangan indah tersebut.Kaki-kaki mereka seakan membeku. Mata mereka tak berkedip menatap apa yang disangkanya sebagai kepala burung Simorgh.
Akan tetapi, lama kelamaan mereka mengumpulkan nyali untuk mendekat. Semakin dekat, tampaklah dalam pandangannya apa yang semula disangkanya sebagai sumber cahaya. Perlahan-lahan, mereka dapat melihat bayangan mereka sendiri di situ.
Akhirnya, ke-30 burung tersebut menyadari bahwa pendar cahaya dari tubuh Simorgh adalah cahaya mereka sendiri. Itulah cahaya yang telah lama mereka cari. Ternyata, selama ini telah menyertai, yakni di dalam hati mereka.
Banyak mitologi yang menyebutkan Phoenix(Feniks) sebagai burung api yang melambangkan kesucian. Berbagai terjemahan bahasa Inggris atas Manthiq al-Thair juga menyepadankan Simorgh sebagai burung Feniks. Bagaimanapun, gambaran yang paling tepat tentu berasal dari bahasa Persia, sebagai bahasa yang dipakai Attar untuk menulis bukunya.
Dalam bahasa Persia, simorgh merupakan perpaduan dari dua kata, yakni siyang berarti `30' dan morgh`burung.' Jadi, burung Feniks atau sang legenda yang dicari-cari adalah 30 burung.
Dengan perkataan lain, pada akhirnya Simorgh dan para pencarinya adalah satu. Ini semacam penjabaran tentang konsep wahdatul wujud.
Dalam dunia tasawuf, menurut Prof Nasaruddin Umar dalam artikel Tentang Wahdatul Wujud (2014), konsep tersebut seakan-akan menjadi sebuah istilah untuk merangkum berbagai bentuk perjumpaan atau rasa penyatuan Tuhan dengan makhluk, khususnya manusia.
Prof Abdul Hadi WM dalam Sastra Sufi:Sebuah Antologi(1985) mengatakan, Attar bermaksud dengan kisahnya itu untuk menunjukkan tahapan-tahapan sufistik.Seorang salik akan selalu merindukan perjumpaan dengan Tuhan.
Namun, upaya itu memerlukan tekad untuk tidak lagi terbelenggu oleh perkara-perkara duniawi. Seorang hamba tidak merasa hal-hal materiel sebagai tolok ukur kemuliaan. Justru, yang didambakannya adalah kefakiran, yang menjadi jalan keikhlasan untuk dapat berjumpa dengan Sang Kekasih.
Kemudian, ajal datang dan segala yang kau miliki lenyap, tenggelam. Sehabis itu kau jadi debu jalanan. Berkali-kali seseorang itu fana, tapi bila orang berhasil mengetahui rahasia-rahasia kehidupan yang hakiki, akhirnya ia akan menerima kebakaan, dan akan mendapat kan kehormatan dalam keadaan hina, tulis Attar, seperti diterjemahkan Abdul Hadi.