Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu detail dari PPKM Darurat Jawa Bali yang diberlakukan 3-20 Juli mendatang adalah penutupan tempat ibadah, termasuk masjid dan mushala. “Tempat ibadah seperti masjid, mushala, gereja, pura, wihara, dan kelenteng, serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah ditutup sementara.” Pro kontra pun muncul terkait penutupan sementara tersebut.
Di kalangan umat Islam, sebagian berpendapat penutupan masjid adalah bentuk diskriminasi bahkan menzalimi umat Islam. Munculnya anggapan ini, oleh sejumlah kalangan (lagi-lagi) dikaitkan dengan peta Pilpres 2019 lalu dan ketidaksukaan terhadap rezim yang kerap dituding anti-agama.
Argumentasi yang kerap berseliweran adalah di saat masjid atau mushala direkomendasikan ditutup sementara, tetapi di saat yang sama, justru mal dan pusat perbelanjaan dibuka meski dengan pembatasan kapasitas pengunjung dan jam operasional. Argumentasi lain adalah ketidakpercayaan pada Covid-19 dan anggapan bahwa Allah SWT akan melindungi umat Islam selama berada di dalamnya. (Perlindungan Allah SWT itu benar adanya, tetapi ia diperoleh dengan rangkaian usaha, bukan serta merta).
Polemik semacam ini, seharusnya tak perlu terjadi jika ada kesamaan persepsi tentang bahaya wabah dan langkah bersama menghadapinya. Ada persoalan yang jauh lebih penting daripada memperdebatkan tentang perlu atau tidaknya menutup masjid, yaitu tentang menutup celah malapetaka. Argumentasinya dari aspek syariat juga lebih kuat ketimbang memaksakan diri untuk membuka masjid untuk sholat berjamaah seperti biasa, layaknya tak ada wabah.
Ini setidaknya bisa kita peroleh dari membaca anatomi Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa ini pun lantas diejawantahkan belakangan ini ke dalam Tausiyah MUI 2 Juli lalu, terkait pelaksanaan ibadah dan Idul Adha masa PPKM Darurat. Oleh Kementerian Agama diterjemahkan ke dalam pertama, edaran Menteri Agama No SE 16 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Malam Takbiran, Salat Idul Adha, dan Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H/2021 M di Luar Wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Kedua, edaran Menteri Agama No SE 17 tahun 2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbiran, Salat Iduladha, dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H/2021 M di Wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Fatwa MUI hingga sudaran Menteri Agama tersebut memuat unsur apa yang kita kenal dalam kajian ushul fiqih dengan istilah sadd adz-dzari’ah, yaitu mencegah perkara buruk terjadi pada diri sendiri atau orang lain. Simak penuturan Imam Al Qarafi dalam Syarh Tanqih al-Fushul Ikhtishar al-Mahshul fi Al-Ushul, bahwa tujuan syariat pada dasarnya adalah terwujudnya maslahat dan terhindari dari kerusakan. Segala faktor dan sebab pendukung terwujudnya tujuan syariat itu, maka hukumnya juga sama.
Jika kita memahami ini, kita akan bisa memahami mengapa dalam sebuah sabdanya Rasulullah SAW menyerukan agar tidak memasuki wilayah yang di dalamnya terdapat wabah, dan bila kita sudah berada di dalamnya, sebaiknya tidak melakukan perjalanan keluar. Ini tak lain adalah upaya menutup celah terjadinya malapetaka yang lebih parah.
Pembacaan sama atas keputusan Umar bin Khattab yang memilih tidak memasuki Syam yang ketika itu tengah dilanda wabah. Apakah Umar bin Khattab takut dan tidak percaya takdir? “Kita lari dari takdir Allah SWT yang satu menuju takdir Allah yang lain,” begitu kata Umar.
Penutupan masjid sementara selama masa PPKM Darurat merujuk pada sederat argumentasi syariat yang kuat. Bukan didasari atas sentimen ataupun sikap emosional belaka, sebagaimana mereka yang menolaknya. Apalagi menyebut bahwa kebijakan ini adalah bentuk menzalimi umat Islam, sementara sasaran PPKM Darurat itu, tentu tidak hanya sebatas masjid atau mushala, tetapi juga menyangkut tempat ibadah umat agama lain.
Pemberlakukan penutupan masjid sementara juga bisa kita temukan di negara-negara Arab. Sejak awal pandemi Covid-19 2020, sebagian besar negara-negara Arab memutuskan menutup masjid. Aljazair, Maroko, Yordania, Kuwait, Palestina, Libya, dan Tunisia. Sementara Arab Saudi mengecualikan dua masjid suci, yaitu Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Apakah tidak ada penolakan terhadap kebijakan menutup masjid di negara-negara Arab itu? Ada. Logika dan argumentasi yang digunakan juga sama persis. Di Yordania sebagai contoh, penolakan datang dari opisisi pemerintah yang digawangi Ikhwanul Muslimin dan sebagian Islamis. Mereka menuding pemerintah hendak meniadakan syiar agama Islam berupa sholat wajib lima waktu.
Namun jawaban yang disampaikan otoritas Yordania pun tidak kalah keras. Menteri Waqf (Menteri Agama) Yordania, Mohammad Khalaile, mengatakan kepada media, “Saya siap menanggung pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, dan bagi mereka yang meyakini sejarah akan dicatat, saya katakan, saya merasa terhormat jika sejarah mengabadikan nama Mohammad Khalaile menutup masjid agar wabah tidak menyebar di tengah-tengah manusia. Apakah logis negara seperti Yordania akan memerangi agama dan menutup masjid dengan cara seperti ini?”
Kita tentu berharap semua kembali normal seperti semula. Begitu pun aktivitas beribadah kita di masjid atau mushala. Jika boleh memilih, tentu, kita ingin pandemi Covid-19 tak terjadi. Qadarallahu wama sya’a fa’al. Keluar dari pandemi wabah Covid-19 membutuhkan kerja bersama yang cukup berat. Dan pada level ini, tak perlu ada diksi zalim dan dizalimi, yang perlu dilakukan adalah kesadaran dan ikhtiar bersama. Dan sampai detik inipun, saya sebagai bagian umat Islam, tak merasa dizalimi sebab penutupan masjid sementara selama PPKM Darurat.