REPUBLIKA.CO.ID, — Konflik antara menantu wanita dan mertua kerap terjadi dalam sebuah keluarga. Bagaimana cara mengatasinya?
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Aisyiyah yang juga Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Prof Alimatul Qibtiyah, menjelaskan dengan memperbaiki hubungan antara menantu dan mertua akan menurunkan risiko terjadinya perceraian sebanyak 20.
Hal itu dapat dilakukan dengan memposisikan mertua seperti orang tua sendiri sehingga tidak membedakan sikap dan penghormatan, serta tidak sungkan menjadikan mertua sebagai teman berbagi keluh kesah.
“Konflik dengan mertua juga bisa diminimalkan bila terciptanya hubungan yang berkualitas antar pasangan suami-istri sehingga membuat mertua merasa nyaman,” kata dia dalam kajian virtual Majelis Tabligh PP Aisyiyah beberapa waktu lalu, sebagaimana dikutip dari Harian Republika.
Guru besar kajian Gender UIN Sunan Kalijaga ini menyebutkan, penting juga dalam menjaga keharmonisan dengan mertua dengan terus menjalin komunikasi yang baik dan menginformasikan hal-hal baik.
Selain itu masing-masing juga dapat membuka ruang lebih luas untuk berekspresi. Sementara itu konflik juga bisa diminimalisir dengan menjaga diri agar tidak mudah tersinggung dengan mertua, tidak mengharapkan perlakuan yang sama dari mertua seperti yang diberikan pada menantu lainnya, menghindari komunikasi yang buruk, tidak memperlihatkan sikap memusuhi.
Pada sisi lain, kata dia, seorang mertua juga harus menyadari bahwa anaknya sudah memiliki belahan jiwa sehingga tidak harus selalu mencampuri urusan anak dan menantunya. Memahami budaya dan pola asuh menantunya dan menghargai perbedaan pandangan.
Dia mengingatkan mertua harus menyadari perbedaan dan perubahan zaman yang berpengaruh terhadap gaya hidup setiap generasi. Selian itu mertua juga dapat mengapresiasi capaian menantunya dengan keluarga kecilnya.
Prof Alimatul mengutip penjelasan Alquran agar terjalinnya hubungan yang harmonis dalam berumah tangga baik dengan suami dan anggota keluarga lainnya termasuk dengan mertua. Seperti di antaranya pada surat An Nisa ayat 21.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
"Bahwa pilar perkawinan dalam berkeluarga itu Mitsaqan Ghalizan, perjanjian yang sakral, tidak main-main. Karena itu bagaimana kita juga memperhatikan bukan hanya pasangan kita tapi juga anggota keluarga kita termasuk ayah ibu mertua," kata Prof Alimatul.
Selain itu, Prof Alimatul juga mengingatkan adanya tharadhin atau kerelaan sebagaimana dijelaskan dalam Al Baqarah ayat 233.
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”
Prof Alimatul menyarankan, seorang menentu harus memiliki kerelaan berbagi kasih suami dengan keluarganya. Begitupun mertua harus memiliki kerelaan akan setiap keputusan menantunya terhadap keluarga kecilnya. “Selain itu keharmonisan hubungan antara mertua dan menantu bisa terjadi dengan baik manakala terjadi musyawarah yang baik,” tutur dia.