REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya hadir sebagai pembicara kunci dalam acara Webinar High Level Peatland Event secara virtual dengan tema “Peatland, a Super Nature-Based Solution”, pada, Senin malam (5/7), dengan didampingi Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto, Plt. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro dan Sestama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Dewi Utari.
Dalam acara yang diikuti negara pemilik lahan gambut dunia, Siti Nurbaya berbagi pengalaman Indonesia, pelajaran dan praktik dalam mengelola lahan gambut tropis untuk pembangunan dengan tetap menjaga kelestarian.
Lahan gambut berkontribusi terhadap kemajuan perjanjian lingkungan multilateral (MEA), termasuk upaya meningkatkan ambisi iklim. Indonesia adalah negara dengan lahan gambut terbesar keempat di dunia, dan merupakan 36% dari lahan gambut tropis dunia. Area gambut ini menyimpan sekitar 30 - 40 % dari deposit karbon tanah global, menjadikannya salah satu penyimpan karbon terbesar di dunia, dan berkontribusi pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.
Dikatakan Menteri Siti, menangani tata kelola gambut bukanlah hal yang mudah. Menurutnya, dibutuhkan banyak aspek, teknis, ekonomi, sosial dan juga hingga harus ke ranah hukum. Upaya kuat untuk memulihkan lahan gambut dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain dengan hadirnya Badan Restorasi Gambut (BRG). Pemerintah terus mencari cara efektif untuk mencegah lahan gambut agar tidak terbakar. Usaha itu melalui melalui pembasahan, revegetasi dan revitalisasi mata pencaharian.
Menteri Siti juga menjelaskan tentang pengalaman Indonesia yang dipelajarinya dari berbagai peristiwa di tanah air sejak 1996 dalam relevansi gambut dan karhutla khususnya belajari dari gambut Kalteng; dengan catatan penting bahwa :1) pada dasarnya gambut bisa dikelola dengan baik bagi kesejahteraan masyarakat, dan diantaranya ada gambut yang harus dilindungi; 2) kubah gambut mutlak harus dilindungi; 3) gambut yang rusak pada dasarnya bisa dipulihkan dengan pengendalian tata air; 4) diperlukan teknologi seperti citra Lidar atau metode Darcy untuk neraca air gambut; 5) pengaturan tata kelola air di tingkat lapangan bersama petani/masyarakat; 6) pengendalian kebakaran; 7) kesadaran masyarakat ; 8) penegakkan hukum dan 9) diperlukan berbagai kebijakan (majemuk tidak tunggal) dan regulasi yang kuat.
“Sebenarnya upaya restorasi saja tidak cukup. Ketika lahan gambut diabaikan dan tidak ada yang mengelolanya, mereka tetap rentan terhadap kebakaran selama musim kemarau. Untuk kawasan tersebut, maka diambil kebijakan dan langkah-langkah terpadu," jelas Siti.
Menteri Siti menambahkan, pemerintah terus mengupayakan cara terbaik untuk mengelola lahan gambut, dalam banyak aspek antara lain: kelembagaan, pengetahuan teknis, basis masyarakat, pendekatan ilmiah, dan memperhatikan pengelolaan air yang berkelanjutan dan mengandalkan sumber daya masyarakat lokal serta kearifan lokal.
Menteri Siti juga menjelaskan, pada tahun 2020, Indonesia berupaya meningkatkan program Masyarakat Peduli Api (MPA) dengan memperkuat masyarakat sekitar hutan dan lahan yang terbakar, melalui Kesadaran Hukum Bina Lingkungan (Paralegal), yang selanjutnya disebut MPA Paralegal. Program ini bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum di tingkat masyarakat dan memberdayakan masyarakat dengan melakukan diversifikasi usaha ekonomi, sesuai potensi wilayah desa masing-masing.
“Program ini dimulai dengan memberikan pelatihan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penggunaan api, dan potensi diversifikasi usaha ekonomi sesuai dengan sumber daya masing-masing desa. Kelompok-kelompok tersebut kemudian diberdayakan untuk melakukan patroli terpadu yang melakukan ground-check titik api, mengumpulkan data ketinggian air gambut, dan melakukan pemadaman dini kebakaran hutan dan lahan, “terang Siti Nurbaya.
Lebih lanjut, Indonesia menempatkan pengelolaan lahan gambut sebagai bagian dari strategi nasional selama bertahun-tahun, termasuk dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam NDC yang pertama di sektor kehutanan, termasuk lahan gambut diharapkan menjadi tulang punggung, dalam mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 41% pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario Business as Usual.
Melalui program REDD+, pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan, serta pengelolaan lahan gambut dan mangrove, sektor kehutanan diharapkan menjadi penyumbang terbesar yaitu sekitar 60% dari target penurunan emisi nasional. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap masalah ini dan membuktikannya dengan pencapaian yang nyata.
Selanjutnya, pada NDC yang kedua, merupakan versi terbaru dari yang pertama, dapat dianggap sebagai Strategi Jangka Panjang dan Ketahanan Iklim sebagai cerminan dari ambisi menuju kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius. NDC kedua juga disertai dengan peta jalan Mitigasi dan Peta Jalan Adaptasi, Perencanaan Energi, dan peta jalan penghapusan PLTU secara bertahap; dan eksplorasi karbon biru termasuk mangrove dan terumbu karang. Ditegaskan pula bahwa Indonesia saat ini sedang menyiapkan langkah untuk netral karbon pada tahun 2060 atau bisa juga lebih awal. Dan yang penting juga ditegaskan bahwa Indonesia dalam proyeksi NDC untuk sektor kehutanan dapat mencapai karbon netral di tahun 2030; dengan keyakinan bahwa berbagai masalah berat menahun telah diidentifikasi dan dikembangkan penanganannya dengan berbagai kebijakan sektor kehutanan yang semakin dimantapkan.
“Kami fokus pada pengurangan emisi GRK dengan mengerahkan segala upaya dalam memerangi dan mencegah terulangnya kebakaran hutan dan lahan serta mengelola lahan gambut secara berkelanjutan, selain moratorium permanen dari izin-izin baru untuk konsesi pada hutan primer dan lahan gambut seluas 66 juta hektar dan penegakkan hukum dan penanganan konservasi mangrove dan terumbu karang," tutur Siti.
Menyadari pentingnya lahan gambut di tingkat global, regional, dan nasional dalam mengatasi perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, lingkungan, dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, dengan dukungan kuat dari UNEP, Pemerintah Indonesia bersama dengan Pemerintah Republik Demokratik Kongo (DRC), dan Republik Kongo (ROC), telah mendirikan International Tropical Peatlands Center (ITPC), yang dideklarasikan di Jakarta pada 30 Oktober 2018 yang diinspirasi oleh Deklarasi Brazzavile bersama Indonesia dan Negara Demokratik Kongo dan Negara Republik Kongo pada Maret 2018.
Sejak didirikan, ITPC telah menjadi tuan rumah dan berpartisipasi dalam banyak forum internasional dalam upayanya untuk mempromosikan pengelolaan lahan gambut tropis yang berkelanjutan.
Salah satu misi ITPC adalah menyatukan pemerintah, peneliti, praktisi, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan konservasi dan pengelolaan lahan gambut tropis yang berkelanjutan.
Pada kesempatan tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, Republik Demokratik Kongo, Ève Bazaiba Masudi yang diwakili oleh Sylvie DZBO Counsellor (konselor) yang menangani Gambut dan Hutan, menyampaikan pentingnya mempertimbangkan lahan gambut dalam kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu menurut Eve Bazaiba juga penting berbagi kebutuhan akan dukungan untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung mata pencaharian berkelanjutan tanpa drainase lahan gambut. Ia juga menekankan perlunya penilaian ekonomi lahan gambut, yang menjadi dasar rencana dan keputusan mereka untuk konservasi dan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.
Menteri Lingkungan Hidup, Pembangunan Berkelanjutan dan the Congo Basin, Republik Kongo, Arlette Soudan-Nonault juga menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya perlindungan lahan gambut di Congo Basin. Ia menyadari perlu bekerja sama melalui kolaborasi lintas batas dengan dukungan internasional dan meminta sumber dana yang lebih memadai untuk mendukung upaya negaranya melestarikan lahan gambut untuk kepentingan iklim, manusia, dan dunia.
Turut menyampaikan, Menteri Lingkungan Hidup Republik Peru, Gabriel Quijandra, bahwa lahan gambut dapat menjadi ekosistem di mana beberapa Perjanjian Lingkungan Multilateral dapat dikembangkan bersama-sama. Untuk itu Peru menyatakan bergabung secara resmi dengan ITPC. “Kolaborasi internasional sangat penting untuk melindungi lahan gambut dan mencapai target keanekaragaman hayati dan perubahan iklim global (NDC), " pungkas Gabriel Quijandra.