Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Islamofobia. Kata ini beberapa pekan belakangan berseliweran kembali di berbagai pemberitaan di luar negeri.
Dunia kembali tersentak ketika empat orang Muslim meninggal karena dengan sengaja ditabrak saat sedang berjalan kaki awal Juni lalu. Empat orang yang merupakan nenek, ayah, ibu, dan anak perempuan itu meninggal seketika di bawah lampu lalu lintas di sebuah persimpangan jalan di London, Ontario, Kanada. Hanya seorang anak laki-laki sembilan tahun yang selamat, namun dalam kondisi kritis.
Insiden ini mengguncang komunitas di London. Bukan hanya bagi warga Muslim, warga setempat pun tidak menyangka aksi teroris ini terjadi di lingkungan mereka.
Ya, tanpa ragu Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menyebut penabrakan ini sebagai aksi terorisme. Polisi mengatakan tindakan tersebut disengaja dan para korban menjadi sasaran karena mereka Muslim.
Sikap Trudeau yang dengan cepat mengecam dan menyebut penabrakan tersebut sebagai terorisme patut diapresiasi. Akan sangat menyakitkan bagi umat Muslim jika insiden itu hanya disebut sebagai tragedi.
Ini belum termasuk aksi-aksi Islamofobia 'kecil' lainnya, seperti corat-coret di masjid. Di Las Vegas, seorang pria mengoleskan daging babi asap ke tembok rumah tetangga Muslimnya. Saat ditanya polisi, dia tanpa ragu mengatakan alasan tindakannya karena membenci Muslim.
Pada akhir Juni lalu, dua wanita dan pria Muslim tiba-tiba dipukul saat sedang berjalan kaki di New York. Muslimah kerap menjadi korban karena mudah diidentifikasi dari jilbabnya.
Kasus penyerangan terhadap Muslimah juga terjadi di Alberta, Kanada. Tanpa alasan, seorang pria, menurut Royal Canadian Mounted Police, mendekati para wanita di St. Albert, kemudian meneriakkan hinaan rasial dan menodongkan pisau.
Lalu, laki-laki itu pun merenggut jilbab sang Muslimah. Seringnya perempuan Muslim Kanada menjadi korban serangan Islamofobia kemudian mendorong ratusan warga di Edmonton berunjuk rasa menuntut tindakan melindungi wanita Muslim.
Yang paling anyar adalah peta Islam yang dikeluarkan Austria. Peta Islam ini memuat 623 organisasi Muslim, masjid dan asosiasinya, serta data pribadi individu yang bertanggung jawab atas sejumlah asosiasi di Austria secara rinci.
Peluncuran peta ini berpotensi memicu islamofobia dan penyerangan terhadap Muslim. Peta ini diskriminatif karena hanya menyasar Muslim. Gereja Katolik Austria bahkan mengkritik peta ini. Karena banyak mendapatkan penolakan dan dianggap kontroversial, peta itu kini tidak bisa lagi diakses.
Insiden-insiden ini menjadi gambaran betapa parahnya Islamofobia. Islamofobia mewujud dalam bentuknya yang paling sederhana, yaitu serangan fisik terhadap Muslim. Di level tinggi, islamofobia misalnya dalam bentuk kebijakan pelarangan jilbab di tempat umum yang dianut Prancis. Agak aneh sebenarnya mengingat umat Muslim di Prancis adalah yang paling banyak di Eropa.
Hasil penelitian Kelompok Lintas Partai (CPG) Parlemen Skotlandia mengungkap empat dari lima Muslim di Skotlandia secara langsung mengalami serangan islamofobia. Sebanyak 83 persen responden Muslim mengatakan mengalami islamofobia secara langsung dan paling banyak dialami Muslimah.
Di Jerman, islamofobia meningkat sejak 2009. Laporan Kejahatan Politik yang disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri Jerman dan Kantor Kriminal Federal mencatat kejahatan islamofobia pada 2020 meningkat delapan persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sungguh menyedihkan umat Muslim diperlakukan sebagai ancaman. Hal ini menunjukkan sangat minimnya informasi dan pemahaman mengenai budaya, cara hidup, dan ajaran Islam yang sebenarnya. Kekerasan yang dilakukan ekstremis menjadi penyebab anggapan bahwa semua Muslim adalah ekstremis.
Khusus di Eropa, gelombang eksodus migran yang berdatangan dari Timur Tengah bisa jadi membuat warga Eropa kaget. Para migran melarikan diri dan konflik dan mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa.
Pemahaman mengenai Islam harus digencarkan. Caranya dengan membuka diri dan informasi seluas-luasnya. Tunjukkan juga bahwa Islam adalah agama damai dan Muslim bisa bersosialisasi dan berkontribusi dengan baik di masyarakat. Media pun memainkan peran penting dengan menyajikan berita tanpa bias terhadap Muslim. Inilah tantangan yang dihadapi Muslim yang menjadi minoritas.