Kamis 08 Jul 2021 12:35 WIB

Harga Naik 1.000 Persen, E-Commerce Dilarang Jual Ivermectin

Kemendag sudah secara resmi minta e-commerce setop penjualan ivermectin.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Indira Rezkisari
Ivermectin. Kementerian Perdagangan (Kemendag) secara resmi meminta perniagaan elektronik atau e-commerce untuk tidak lagi melakukan penjualan obat Ivermectin secara bebas.
Foto: Elba Damhuri
Ivermectin. Kementerian Perdagangan (Kemendag) secara resmi meminta perniagaan elektronik atau e-commerce untuk tidak lagi melakukan penjualan obat Ivermectin secara bebas.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Kementerian Perdagangan (Kemendag) secara resmi meminta perniagaan elektronik atau e-commerce untuk tidak lagi melakukan penjualan obat ivermectin secara bebas. Hal tersebut, diungkapkan Direktur Pemberdayaan Konsumen, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Ojak Simon Manurung, melalui Nota Dinas nomor 178/PKTN.2/ND/07/2021 tertanggal 2 Juli 2021, perihal Hasil Rapat Koordinasi Penjualan Obat Ivermectin melalui e-commerce.

Menurut Ojak Simon Manurung, dalam rapat yang digelar bersama Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) dan Halodoc, Kemendag meminta secara eksplisit agar dilakukan 'Takedown Merchant' penjualan obat ivermectin via e-commerce. “Karena belum ada kesimpulan medis dari BPOM sebagai obat Covid serta harganya kini melonjak hingga 1.000 persen lebih,” ujar Ojak Simon Manurung dalam keterangan resmi, Kamis (8/7).

Baca Juga

Kebijakan tidak lagi menjual ivermectin diberlakukan sambil menunggu keputusan BPOM dalam hal penetapan kebijakan atas peredaran obat ivermectin dan kebijakan Kementerian Kesehatan terkait Pengawasan HET obat tersebut. Dalam rapat pihak IdEA dan Halodoc, kata dia, semua sepakat mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan pemantauan terhadap penjualan barang-barang secara online agar tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sekaligus melindungi konsumen.

“Rapat juga menegaskan ivermectin adalah salah satu jenis obat keras yang penjualannya memerlukan resep dokter dan tidak boleh dijual secara bebas baik secara offline maupun online,” katanya.

Saat ini, kata dia, di pasaran terdapat 2 (dua) jenis obat ivermectin, yang pertama untuk manusia dan kedua untuk hewan. Berdasarkan keterangan BPOM penggunaan ivermectin pada manusia hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh cacing. “Sedangkan terkait isu yang beredar saat ini belum dapat disimpulkan secara medis bahwa obat tersebut berkhasiat menyembuhkan penderita Covid-19,” katanya.

Ojak mengatakan, idEA telah meminta seluruh toko online yang menjual obat ivermectin untuk sementara tidak lagi menjual obat-obatan tersebut, sampai dengan adanya kebijakan lebih lanjut dari pemerintah. Khususnya, BPOM sebagai otoritas yang berwenang.

Menurutnya, sambil menunggu surat dari Kementerian Perdagangan yang saat ini sedang disiapkan oleh Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa sebagai dasar kebijakan penghentian penjualan ivermectin melalui online, idEA juga akan terus melakukan pemantauan terhadap seluruh pelaku usaha online agar tidak lagi menjual ivermectin, baik untuk manusia maupun hewan.

Ivermectin masuk klasifikasi obat keras yang harus dengan resep dokter artinya tidak dapat dijual bebas kepada konsumen tanpa resep dokter. Sebelumnya penjualan obat ivermectin melalui pasar online/marketplace melonjak harganya di atas 1.000 persen. Obat yang tadinya hanya sekitar Rp 30 ribu/papan sekarang berada di kisaran Rp 350 ribu-Rp 500 ribu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement