REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terkadang, suatu tradisi oleh sebagaian masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat. Namun oleh sebagian masyarakat lain dianggap sesuai atau bahkan wujud dari pengamalan sunah (living the hadits). Lantas bagaimana dengan haul? Apakah haul merupakan tradisi yang bertentangan dengan syariat?
Dalam buku Ilmu Living Quran-Hadis karya Ustaz Ahmad Ubadi Hasbillah dijelaskan, dalam tradisi haul (memperingati hari kematian seorang anggota keluarga) masih dianggap oleh sebagaian masyarakat Islam sebagai tradisi yang buruk. Sebagian lainnya menganggap bahwa tradisi demikian adalah tradisi yang baik, bahkan pengamalan dari sunah Nabi dalam bentuk yang berbeda.
Baik peringatan hari lahir maupun peringatan hari kematian, oleh sebagian masyarakat diyakini sebagai pengamalan terhadap Alquran Surah Ibrahim ayat 5: “Wadzkirhum bi-ayyamillahi,”. Yang artinya: “Ingatkanlah mereka (kepada Allah) dengan hari-hari Allah,”. Landasan ini yang mana menurut para mufasir diartikan sebagai hari bahagia dan hari berduka.
Berdasarkan pengakuan sebagian masyarakat, hal itu diyakini sebagai tradisi baik karena bersesuaian dengan ayat Alquran. Dan karena itu pula dikategorikan dan dianggap sebagai living Quran. Namun begitu, sebagaian masyarakat lain menilai bahwa peringatan haul adalah pengamalan dari hadis, “Aktsiruu dzikra haadimilladzati,”. Yang artinya: “Perbanyaklah mengingat (kematian) yang menghancurkan rasa nikmat,”.
Dengan mengingat kematian keluarganya, seorang pengamal tradisi haul dapat mengingat kematiannya sendiri. Berdasarkan keterangan pengamal yang demikian itu, hal itu dapat disebut sebagai living hadis tentang pengingat kematian.
Berbeda lagi dengan pengakuan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa tradisi haul adalah diinspirasi dari sebuah hadis, “Udzkuruu mahaasina mautakum,”. Yang artinya: “Ingatlah kebaikan-kebaikan keluarga kalian yang telah meninggal,”. Oleh karena itu, dalam upacara peringatan haul, selalu yang disebut-sebut adalah kebaikan orang yang telah meninggal tersebut.
Dengan demikian, tradisi haul dalam konteks ini adalah living hadis tentang mengingat jasa baik orang yang telah meninggal. Maka tentu urf berupa haul tersebut dikenal dengan cara seperti itu akan menghasilkan sebuah cara pandang yang baik.
Motivasi lain dari acara haul bagi sebagian masyarakat adalah guna menghidupkan sebuah dalil dari Surah Al-Isra ayat 23: “Wa qadha Rabbuka alla ta’buduu illa iyyahu wa bil-waalidaini ihsaana,”. Yang artinya: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya,”.
Maka demikian, latar belakang peringatan haul kematian kedua orang tua adalah dalam rangka berbuat baik dan berbakti kepada keduanya dengan sebaik mungkin, meskipun keduanya telah meninggal dunia. Bentuk bakti kepada orang tua yang telah meninggal ini biasanya dirupakan dalam bentuk peringatan haul yang isinya adalah membacakan doa bersama-sama kepada Allah untuk keduanya lalu bersedekah yang diatasnamakan keduanya juga.
Ada pula sebagian masyarakat yang melakukan tradisi haul sebagai upaya untuk menghidupkan hadis, “Idza maaabnu Adam inqatha’a amaluhu illa min tsalatsin… (wa fiihi) aw waladin shaalihin yad’u lahu,”. Yang artinya: “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara; … (yaitu salah satunya) adalah anak shalih selalu mendoakannya,”.
Maka dengan adanya peringatan haul, sang anak berhadap bisa termotivasi untuk selalu mendoakan kedua orang tuanya. Mereka menghidupkan hadis tentang kesalihan. Dengan haul pula mereka menghidupkan hadis bahwa amal kedua orang tuanya yang telah meninggal tetap bertambah, tidak terputus karena sang anak selalu mendoakannya.