REPUBLIKA.CO.ID, PORT AU PRINCE -– Haiti telah jatuh ke dalam kekacauan setelah terbunuhnya Presiden Jovenel Moise pada Rabu (8/7).
Krisis politik yang berkembang dari masa jabatan presiden, kondisi ekonomi yang tak menentu, pandemi Covid-19, hingga masalah keamanan negara yang meningkat, menjadi alasan utama ketidakstabilan saat ini. Meskipun Haiti akan menggelar plebisit untuk amandemen konstitusi dan pemilihan presiden dan parlemen pada 26 September untuk mengurangi ketegangan di negara itu, sebagian besar warga masih ragu-ragu untuk pergi ke tempat pemungutan suara karena masalah keamanan.
Kekerasan meningkat
Menurut laporan Dana Anak-anak PBB (UNICEF) yang dirilis pada 15 Juni, hampir 8.500 perempuan dan anak-anak telah meninggalkan rumah mereka selama dua pekan terakhir karena meningkatnya ketegangan antara kelompok-kelompok militan di ibu kota, Port-au-Prince. Laporan itu mengatakan orang-orang memilih berlindung di gedung olahraga, dan mereka tengah membutuhkan makanan, air bersih, pakaian, dan selimut.
Data PBB juga menunjukkan bahwa sekitar 14.000 orang harus meninggalkan rumah mereka dalam sembilan bulan terakhir karena kelompok-kelompok yang menguasai sejumlah wilayah.
Pierre Esperance, direktur eksekutif Jaringan Pertahanan Hak Asasi Manusia Nasional, menyatakan keprihatinan atas gelombang kekerasan dan memperingatkan bahwa situasi akan memburuk jika Moise bersikeras terus menjabat.
Kontroversi soal masa jabatan Moise