REPUBLIKA.CO.ID, PORT AU PRINCE - Presiden Haiti Jovenel Moise terbunuh di kediamannya pada Rabu (7/7) waktu setempat. Kini negara tersebut berada dalam ketidakpastian politik.
Perdana Menteri Haiti Claude Joseph mengambil alih kepemimpinan Haiti dengan bantuan polisi dan militer. Joseph mengatakan dia mendukung penyelidikan internasional atas pembunuhan presiden.
Dia juga meyakini pemilihan yang dijadwalkan akhir tahun ini harus diadakan karena dia berjanji untuk bekerja sama dengan sekutu dan lawan Moise. "Semuanya terkendali," ujarnya.
Penduduk Haiti dan keluarga serta teman-teman yang tinggal di luar negeri bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya pada Haiti. "Ada kekosongan ini sekarang dan mereka takut tentang apa yang akan terjadi pada orang yang mereka cintai," kata Marlene Bastien, Direktur Eksekutif Gerakan Jaringan Aksi Keluarga, sebuah kelompok yang membantu orang-orang di komunitas Little Haiti di Miami.
Menurut Bastien, penting bagi pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk mengambil peran yang jauh lebih aktif dalam mendukung upaya dialog nasional di Haiti dengan tujuan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas, adil, dan kredibel. Dia juga ingin melihat partisipasi diaspora Haiti yang luas. "Tidak ada lagi plester. Orang-orang Haiti telah menangis dan menderita terlalu lama," kata dia.
Menurut konstitusi Haiti, Moise harus diganti oleh presiden Mahkamah Agung Haiti. Namun ketua Mahkamah Agung meninggal dalam beberapa hari terakhir karena Covid-19. Kondisi ini pun meninggalkan pertanyaan tentang siapa yang berhak menduduki jabatan tersebut.
Joseph seharusnya digantikan oleh Ariel Henry, yang telah ditunjuk sebagai perdana menteri oleh Moise sehari sebelum pembunuhan itu. PM Joseph menetapkan keadaan pengepungan selama dua pekan setelah pembunuhan Moise.
Pembunuhan seorang presiden ini sangat mengejutkan dunia di sebuah negara yang bergulat dengan kemiskinan, kekerasan, dan ketidakstabilan politik tertinggi di Belahan Barat.
Inflasi dan kekerasan geng meningkat seiring dengan semakin langkanya makanan dan bahan bakar, sementara 60 persen pekerja Haiti berpenghasilan kurang dari dua dolar AS per hari. Situasi yang semakin mengerikan datang ketika Haiti masih berusaha untuk pulih dari gempa bumi 2010 yang sangat menghancurkan dan Badai Matthew pada 2016 menyusul sejarah kediktatoran dan pergolakan politik.
Haiti menjadi semakin tidak stabil di bawah kepimpinan Moise, yang telah memerintah dengan dekret selama lebih dari satu tahun. Moise menghadapi protes keras ketika para kritikus menuduhnya mencoba mengumpulkan lebih banyak kekuasaan, sementara oposisi menuntut dia mundur.