REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kesedihan karena kehilangan kerabat yang melindungi dakwah Islam namun tidak mengimaninya diperbolehkan. Namun demikian, umat Islam diberikan tuntunan adab dalam menghadapi situasi demikian.
Mustahafa As-Siba’i dalam buku Yang Tersembunyi dari Sirah Nabi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW ketika pamannya yang bernama Abu Thalib wafat masih dalam keadaan kafir, Nabi bersabda: “Semoga Allah merahmati dan mengampunimu. Aku selalu memohonkan ampun untukmu hingga Allah melarangku.”
Kaum Mukmin kemudian mengikutinya dengan memohonkan ampun untuk ahli kubur mereka yang musyrik. Allah pun menurunkan ayat: “Maa kana linnabiyyi walladzina aamanu an yastaghfiru lil-musyrikina walaw kaanuu uli qurba min ba’di maa tabayyana lahum annahum ashaabu al-jahimi.”
Yang artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.”
Dijelaskan bahwa Allah melarang Rasulullah memohonkan ampun untuk Abu Thalib sebagaimana kaum Mukmin dilarang memohonkan ampun untuk kerabat mereka yang telah meninggal dalam keadaan musyrik.