REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persidangan kasus ekstradisi CFO Huawei Meng Wanzhou (49 tahun) memasuki tahap yang menentukan usai lebih dari 2,5 tahun. Persidangan ini telah menempatkan Amerika Serikat, China dan Kanada, negara tempat Meng ditangkap dalam pusaran hukum dan politik yang berlarut-larut.
Setelah penangkapan Meng, mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berkomentar bahwa ia akan “mengintervensi” kasus ini jika dipandang perlu demi kepentingan hubungan dagang AS dengan China. Hal ini menyiratkan bahwa kasus tersebut sarat dengan muatan geopolitik dan kepentingan ekonomi.
Apalagi, permintaan ekstradisi dari Departemen Kehakiman AS dianggap melanggar kebiasaan hukum internasional. Sebab, kasus terjadi atas Meng yang merupakan bukan warga negara AS. Kasus ini melibatkan perusahaan berbasis di Inggris dan China (HSBC dan Huawei) serta terkait presentasi bisnis yang terjadi di sebuah restoran di Hong Kong.
Meng merupakan putri pendiri Huawei, Ren Zhengfei. Laporan media menyatakan kasus ekstradisi CFO Huawei Meng Wanzhou atau Sabrina Meng memasuki babak yang menentukan setelah tim pembela Meng mengemukakan serangkaian dokumen yang dapat menjadi bukti baru dan dapat mengubah arah perkembangan kasus.
Beberapa bulan yang lalu, tim Huawei memperoleh akses terhadap dokumen melalui pengadilan Hong Kong. Dokumen tersebut berupa email, notulensi pertemuan, komunikasi internal yang terjadi antar eksekutif HSBC terkait kasus ini yang sebelumnya tidak dibuka untuk publik.
Sidang yang dijadwalkan kembali pada 9 Juli 2021 di Mahkamah Agung British Columbia diharapkan memberi putusan apakah menerima seluruhnya, sebagian atau menolak dokumen yang diajukan sebagai bukti baru di persidangan. Menurut Huawei, dokumen tersebut menyingkap fakta-fakta baru yang layak dipercaya dan melemahkan dakwaan pihak AS dalam upaya ekstradisi terhadap Meng.