REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jajaran Polda Metro Jaya menciduk dua orang berinisial N dan MPP yang menjual obat Oseltamivie yang dikonsumsi oleh pasien Covid-19, dengan harga terlampau tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET). Kedua pelaku menjual Oseltamivie tersebut dengan harga Rp 8,5 juta per 10 kotak atau empat kali lipat dari HET.
"Sampai ke masyarakat yang membutuhkan itu harganya Rp 8,4 juta sampai Rp 8,5 juta karena dia tahu sudah langka obat ini. Sehingga itu yang dinaikkan," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus, saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (9/7).
Meski sudah menangkap dua pelaku, kata Yusri, pihaknya tetap akan terus menelusuri lebih lanjut apakah ada pihak lain yang mencoba mengambil keuntungan di tengah warga yang kesulitan mendapatkan obat-obatan saat perawatan covid-19. Kemudian, jajarannya juga terus melakukan patroli siber untuk mencari pihak-pihak lain yang melakukan hal serupa.
"Apakah ada distributor di atasnya yang bermain nakal karena pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi. Ada 11 jenis obat yang sekarang ini memang ramai dicari masyarakat," ungkap Yusri.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat. Ia mengingatkan bahwa pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari situasi krisis akibat pandemi Covid-19 dipastikan berdampak buruk bagi masyarakat yang membutuhkan. Apalagi banyak masyarakat yang membuguhu obat tersebut di tengah wabah Covid-19.
"Diborong dalam jumlah besar, diperdagangkan dengan meniakan harga yang timbul di toko obat, di apotek, di rumah sakit jadi kurang. Sementara masyarakat sedang membutuhkan itu, maka ini harus dihentikan," tegas Tubagus.
Maka dengan ditangkapnya dua pelaku yang memborong, kemudian dijual lagi dengan harga sangat tinggi, Tubagus berharap, pihak yang melakukan atau akan mencoba untuk segera berhenti. Sebab, pihak kepolisian akan terus mengawasi aktivitas jual beli obat di masa pandemi Covid-19, tidak terkecuali dengan oksigen.
Atas perbuatannya, para pelaku dijerat Pasal 107 jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman paling lama 10 tahun penjara.