Jumat 09 Jul 2021 19:12 WIB

IDI: 458 Dokter Meninggal karena Covid Hingga 8 Juli

PB IDI mencatat sedikitnya 458 dokter meninggal dunia akibat Covid hingga 8 Juli.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Bayu Hermawan
Adib Khumaidi, (kanan)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Adib Khumaidi, (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat sedikitnya 458 dokter meninggal dunia akibat Covid-19 hingga 8 Juli 2021.PB IDI mengatakan jumlah dokter yang meninggal dunia akibat Covid melonjak mulai Juni hingga saat ini.

"Berdasarkan update terbaru per 8 Juli 2021, sebanyak 458 dokter meninggal dunia akibat Covid-19," ujar Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi saat mengisi konferensi virtual Lapor Covid-19 bertema Seruan Tenaga Kesehatan Indonesia: Alarm Bahaya dari Benteng Terakhir, Jumat (9/7).

Baca Juga

Adib menjelaskan, sebenarnya jumlah dokter yang meninggal selama Februari 2021 sudah turun dibandingkan Januari 2021. Ia menyebutkan jumlah kematian selama Januari sebanyak 65 dokter, kemudian Februari ada 31 jiwa, kemudian Maret sebanyak 16 dokter, April delapan dokter, kemudian selama Mei tujuh dokter. Namun, dia menambahkan, jumlah kematian dokter langsung langsung naik pada Juni yaitu 48 orang atau meningkat hampir tujuh kali lipat. 

"Kemudian bulan ini hingga 9 Juli saja sudah 35 dokter meninggal dunia," ucapnya.

Ia melanjutkan, tenaga kesehatan dokter yang dirawat saat ini jauh lebih banyak dibandingkan selama Desember 2020-Januari 2021. Bahkan ia menyebutkan di beberapa daerah seperti Kudus, Jawa Tengah, dari 813 tenaga kesehatan yang dirawat, 70 orang diantaranya adalah dokter. 

Menurutnya, kondisi ini bisa berpengaruh terhadap kondisi pelayanan kesehatan di lapangan. Kondisi dokter yang terpapar virus kemudian dirawat hingga meninggal dunia juga terjadi di daerah lain seperti di Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta. 

Adib mengatakan saat ini tim mitigasi PB IDI mencoba menggali problematika di internal sebelum melihat aspek eksternal.  "Karena saat terjadi lonjakan kasus maka berdampak juga pada kondisi infeksi virus dan terkait dengan angka kesakitan hingga kematian tenaga kesehatan," ujarnya.

Oleh karena itu, pihaknya meminta adanya koordinasi dan konsolidasi. Pihaknya meminta para dokter menyampaikan kalau terinfeksi virus ini ke organisasi profesi. Jangan menyembunyikan dan tidak melaporkannya ke organisasi, minimal ke ketua IDI cabang. 

Pihaknya meminta hal ini karena seringkali tidak tahu kapan dokter itu terpapar virus kemudian mendengar kondiainya sudah kritis dan meninggal dunia. Diharapkan dengan melaporkannya dan dokter  melakukan isolasi mandiri atau ada gejala, pihaknya bisa membantu.

"Upaya-upaya yang bisa kita lakukan mulai dari memberikan bantuan obat dan jika membutuhkan perawatan, bisa bersama-sama," ujarnya.

Di lain pihak, PB IDI juga meminta arus masuknya pasien bisa berkurang. Sebab, dia melanjutkan, ketika pasien yang dirawat meningkat maka juga meningkatkan risiko paparan Covid-19 pada nakee. Sehingga, dia menegaskan selama tidak ada intervensi di hulu maka tetap memberikan satu risiko pada nakes. 

PB IDI juga meminta perlunya upaya pemilahan pasien di luar fasilitas kesehatan, salah satunya pelayanan kesehatan digital (telemedicine). Sehingga, tidak semua pasien Covid-19 harus dirawat di fasilitas kesehatan. "Terakhir kami minta pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) karena teman-teman nakes butuh buffer butuh rolling, shifting," katanya.

Ia menambahkan, pemberdayaan SDM kesehatan bisa dilakukan dengan strategi tanpa menyalahi undang-undang (UU). Artinya tetap harus berdasarkan ketentuan UU, berkompetensi dan harus memiliki surat tabda registrasi (STR).  "Upaya ini untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan di masyarakat," ujarnya. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement