Ahad 11 Jul 2021 05:58 WIB

Mengapa Representasi Politik Muslim di Negara Eropa Rendah?

Minoritas Muslim di Eropa tak terwakilkan secara proporsional dalam politik

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Muslim Prancis serukan stop Islamofobia
Foto: google.com
Muslim Prancis serukan stop Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penelitian yang dilakukan antara 2007-2018 dan diterbitkan oleh Cambridge University Press pada Juli lalu mengungkapkan kelompok minoritas Muslim yang tinggal di Eropa tidak terwakilkan secara proporsional dalam politik Eropa. Profesor Hubungan Internasional Universitas Koc Turki sekaligus Penulis Sener Akturk menyimpulkan representasi Muslim dalam politik bervariasi secara signifikan di 26 negara Eropa.

Menurut penelitian, rata-rata Muslim memiliki tingkat representasi tertinggi di Belgia, Bulgaria, dan Belanda. Sebaliknya, Muslim di Prancis, Swiss, Spanyol, Italia, Inggris, dan Jerman representasinya kurang terwakili.

Data demografi menunjukkan Muslim membentuk sekitar tujuh persen dari populasi Jerman atau 5,5 juta dari populasi 83 juta. Namun, dalam parlemen Jerman hanya ada dua anggota parlemen Muslim dari 709. Sebagai perbandingan, Inggris memiliki 18 anggota parlemen Muslim dari total 650 kursi, yaitu 2,7 persen. Angka ini kurang dari lima persen yang diwakili Muslim dalam populasi keseluruhan.

Koordinator Proyek Insaan May Zeidani Yufanyi sebuah organisasi non-pemerintah yang bekerja untuk meningkatkan partisipasi politik dan sosial Muslim di Jerman mengatakan diskriminasi, kriminalisasi, dan mobilitas sosial yang rendah menjadi alasan kurangnya representasi Muslim dalam politik.

“Diskriminasi tersebar luas dan sistem kelas sangat lazim. Berada di kelas sosial ekonomi yang salah dapat berarti mobilitas sosial yang rendah yang pada gilirannya menghambat peluang seseorang untuk menaiki tangga politik di Jerman,” kata Yufanyi.

Di masa lalu, guru sering melakukan diskriminasi terhadap anak-anak berlatar belakang migran, terutama yang berasal dari Turki dan mendorong mereka melalui sistem realschule atau kejuruan. Meskipun Jerman tidak memerlukan persyaratan gelar sarjana untuk memasuki politik, menurut Yufanyi, jika anak tidak mengikuti sistem Gimnasium, peluang untuk memasuki dunia politik cukup rendah.

Selain itu, ia juga mengatakan adanya masalah lain, seperti kriminalisasi keyakinan. Ada peluang untuk mengkriminalisasi atas tindakannya karena orang itu Muslim. “Sangat mudah untuk menghubungkan seorang calon politik Muslim dengan beberapa bentuk ekstremisme dan memasukkan mereka ke daftar hitam,” ujar dia.

Dilansir TRT World, Sabtu (10/7), Sekretaris Jenderal Dewan Pusat Muslim Jerman, Abdassamad El Yazidi, mengatakan calon Muslim tidak mudah dipilih. “Sebuah partai politik dapat mengambil risiko kehilangan konstituen jika ingin mengajukan kandidat Muslim di Jerman. Kami melihat ini di negara bagian Bavaria di mana seorang kandidat Muslim mencalonkan diri untuk pemilihan dan itu menciptakan masalah serius,” kata El Yazidi.

Dia menyoroti pada kasus Tareq Alaows yang melarikan diri dari Suriah ke Jerman enam tahun lalu. Alaows ingin menjadi pengungsi pertama di Bundestag. Pada Februari 2021, ia masuk dalam Partai Hijau sayap kiri hanya untuk menarik diri karena serangkaian ancaman dan pelecehan yang ditujukan padanya.

Setelah itu, Tareq tidak banyak berkomentar. Menurut laporan surat kabar lokal, dia memperkirakan akan diserang oleh sayap kanan. Sejak itu, ia kembali bekerja dengan para migran di sektor sosial.

“Ini bukan pertama kalinya hal seperti itu terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kebangkitan sayap kanan dan tekanan yang diberikannya pada sistem politik telah membuat banyak Muslim enggan memasuki politik,” ucap El Yazidi.

Pencabutan hak kaum Muslim telah memakan korban. Pemuda Muslim merasa tidak seperti warga negara Jerman. Sentimen anti-Muslim yang ada di Jerman membuat mereka merasa tidak diterima sehingga mereka cenderung tidak melibatkan diri dalam politik.

Dewan Pusat Muslim berkampanye untuk mendorong partisipasi politik umat Islam yang lebih baik dalam politik Jerman. “Kami mencoba mendorong lebih banyak Muslim untuk andil dalam politik dan mewakili masyarakat. Bagaimana mungkin Anda tidak menjadi bagian dari proses politik dan kemudian mengeluh suara Anda tidak didengar?” ucap dia.

Dia menyerukan tidak hanya pemerintah tapi juga media dan masyarakat luas untuk bekerja sama mendorong hubungan yang lebih baik. Ini berlaku untuk semua etnis dan agama minoritas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement