REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut bahwa pelaksanaan pencegahan korupsi di era Kepemimpinan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri tidak efektif. Hal tersebut dituangkan dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020.
"Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa efektivitas pengelolaan fungsi pencegahan korupsi dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tipikor belum sepenuhnya efektif," kata BPK sebagaimana laporan yang diunduh dari laman resmi BPK, Ahad (11/7).
BPK menyebut sejumlah permasalahan yang menghambat efektifitas tersebut. Salah satunya adalah perubahan peraturan KPK yang belum sepenuhnya mendukung tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan dan pengelolaan atas benda sitaan dan barang rampasan.
BPK menjelaskan bahwa penyusunan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 belum didukung kajian, analisis dan penyelarasan yang memadai serta terdapat tugas dan fungsi yang tidak lagi diatur dalam Perkom dimaksud.
Antara lain kewenangan dan unit kerja pelaksana tugas koordinasi pencegahan KPK, tugas dan fungsi Direktorat Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), pelaksana fungsi pengembangan aplikasi sistem informasi dan data Direktorat Labuksi, serta uraian pekerjaan/job description terkait pengelolaan titipan uang sitaan dan uang gratifikasi.
"Akibatnya, upaya untuk memperkuat fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara efektif, serta potensi tidak terlaksananya payung hukum yang dapat menjadi dasar pelaksanaan kegiatan," kata laporan itu.
BPK melanjutkan, permasalahan lainnya adalah upaya pencegahan korupsi melalui fungsi koordinasi dan monitoring pada kegiatan Monitoring Center for Prevention (MCP) belum dilaksanakan secara memadai. Dukungan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring pencegahan korupsi juga belum optimal.
Selain itu, proses penyusunan indikator dan subindikator serta pembobotan nilai area intervensi pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum memadai. Hal itu juga belum melibatkan kementerian/lembaga/pemda sebagai stakeholder.
BPK menilai penerapan pedoman kegiatan monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum sepenuhnya konsisten. Hal tersebut berakibat pada kegiatan MCP oleh Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) belum optimal dalam mendukung upaya pencegahan korupsi.
Masalah lainnya ada pada pelaksanaan fungsi penindakan dan eksekusi belum mendukung pengelolaan benda sitaan, barang rampasan dan benda sita eksekusi secara memadai. Di antaranya pada Direktorat Penyelidikan yang belum optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan benda/barang titipan yang masih dikuasai oleh penyelidikan/satgas penyelidikan.
Selain itu, Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi juga belum menyusun dan menetapkan SOP yang mengatur mekanisme rekonsiliasi data Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB). KPK juga belum memiliki fasilitas penyimpanan brang bukti yang memadai.
Akibatnya, sambung laporan BPK, tujuan pengembangan aplikasi SINERGI untuk mendukung pengelolaan data dan informasi administrasi penindakan secara lengkap, terintegrasi, mutakhir dan akurat belum dicapai. Pelaksanaan benda/barang titipan di tahap penyelidikan menjadi belum terukur dan belum dapat dievaluasi kinerjanya secara akurat serta ketidakkonsistenan pelaksanaan dengan SOP.
"Sehingga informasi barang titipan dalam tahap penyelidikan menjadi kurang akurat dan transparan," kata laporan tersebut.