REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek) diminta segera menyiapkan konsep sekolah aman bagi siswa. Persiapan ini dinilai penting untuk memastikan pembelajaran tatap muka (PTM) bisa langsung diberlakukan setelah PPKM Darurat dicabut.
“Berdasarkan Survei Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menunjukkan mayoritas orang tua siswa setuju sekolah segera dibuka kembali. Oleh karena itu kami meminta selama PPKM Darurat ini Kemendikbud Ristek mematangkan sekolah sebagai zona aman bagi siswa. Sehingga setelah PPKM Darurat ini dicabut sekolah bisa kembali dibuka,” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Senin (12/7).
Dia menjelaskan, keinginan mayoritas orang tua siswa agar sekolah segera dibuka seperti yang tercermin dalam survey P2G bisa dipahami. Menurutnya orang tua mempunyai beban ganda saat anak-anak mereka harus melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Mereka tidak hanya berjibaku memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menyiapkan mental dan kapasitas untuk mendampingi anak mereka saat belajar dari rumah.
“Situasi ini terkadang memunculkan tekanan psikologis yang merugikan bagi orang tua maupun anak. Ini di luar persoalan adanya learning loss, naiknya jumlah pekerja anak, hingga maraknya pernikahan dini,” ujar Huda.
Dalam hasil survei P2G, ada 43,9 persen orang tua setuju PTM tahun ajaran baru Juli 2021. Sementara orang tua yang menyatakan ragu-ragu sebesar 32,2 persen, dan tidak setuju sebesar 23,9 persen.
Huda menilai, ditutupnya sekolah juga menjadi salah satu pemicu tingginya tingkat keterpaparan virus Covid-19 bagi anak-anak di Indonesia. Dia mengungkapkan, per 29 Juni 2021, ada 12,6 persen atau sekitar 250 ribu kasus Covid-19 yang menyasar anak usia 0-18 tahun.
Proporsi terbesar berada pada kelompok usia 7-12 tahun (28,02 persen), diikuti oleh kelompok usia 16-18 tahun (25,23 persen) dan 13-15 tahun (19,92 persen). Sedangkan tingkat kematian dari kasus tersebut mencapai 3-5 persen. “Banyak anak yang tidak terkontrol bermain di luar rumah saat sekolah ditutup. Akibatnya tingkat keterpaparan juga tinggi,” katanya.
Menurut Huda, dengan pembukaan sekolah maka anak justru terkontrol dengan baik. Mereka di sekolah bisa berinteraksi dan mendapatkan bimbingan langsung dengan guru maupun teman tentang bagaimana harus beradaptasi dengan kebiasaan baru di kala pandemi.
“Para siswa pun bisa mempraktikan secara langsung bagaimana harus memakai masker dengan benar, bagaimana harus menjaga jarak, bagaimana membiasakan diri untuk cuci tangan dan praktik-praktik baik lainnya,” katanya.
Kendati demikian, kata Huda, upaya mewujudkan sekolah sebagai zona aman Covid-19 bagi anak harus dipersiapkan matang. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek) harus membuat langkah terobosan untuk menyiapkan status zona aman Covid-19 bagi anak.
Mulai dari skenario berangkat dan pulang sekolah, pembatasan jam sekolah, pembatasan ruang kelas, daftar item sarana-prasana yang harus disiapkan sekolah hingga tuntasnya vaksinasi guru dan tenaga kependidikan.
“Faktanya vaksin guru baru 35 persen. Dari 5 juta guru, baru 1,7 juta yang mendapatkan vaksin tahap pertama. Dan vaksin tahap kedua baru menjangkau 1 juta 95 ribu guru. Melihat hal ini, Kemendikbud harus memiliki inovasi agar pendidikan kita dapat diselamatkan," kata dia.
Politisi PKB ini juga menilai sudah saatnya ada perubahan cara pandang terhadap siswa sekolah yang selama ini kerap dipandang sebagai objek dalam program penanganan Covid-19. Menurutnya, siswa harus harus dipandang sebagai subjek yang berperan aktif dalam penanggulangan wabah Covid-19. Mereka bisa menjadi agen perubahan untuk mengampanyekan bahaya Covid-19, cara menerapkan protokol Kesehatan, hingga menyosialisasikan manfaat vaksin.
“Apalagi saat ini pemerintah sudah menyatakan remaja usia 12-18 tahun yang ini rata-rata usia sekolah juga bakal menjadi sasaran vaksinasi Covid-19. Tentu para siswa bisa dijadikan sebagai duta kampanyenya,” ujar dia.