REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS - Pengunduran diri seorang wakil pemerintah di Belgia telah memicu perdebatan politik baru tentang jilbab. Ishane Haouach, seorang wanita Belgia-Maroko, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai komisaris pemerintah di Institute for the Equality of Women and Men (IEFH), Jumat pekan lalu.
Dalam membenarkan pengunduran dirinya, Haouach mengatakan dia ingin melindungi diri dari pelecehan dunia maya dan diskriminasi seksis. "Saya telah menjadi target serangan pribadi yang tak henti-hentinya sejak mengambil jabatan itu enam pekan lalu," ujarnya dilansir laman Euronews, Selasa (13/7).
Sementara itu, kelompok oposisi mempertanyakan pengangkatannya. Ini karena Belgia melarang pegawai negeri yang berhubungan dengan publik untuk mengenakan simbol agama apa pun, termasuk jilbab.
Namun pada Senin (12/7) waktu setempat, Perdana Menteri (PM) Belgia Alexander De Croo membela Haouach di hadapan parlemen. Dia mengatakan Haouach sebagai lulusan universitas memiliki "CV yang solid".
De Croo juga menyatakan Haouach bukan pegawai negeri badan publik dan tidak melanggar peraturan negara bagian federal. Isu ini kemudian membagi mitra dalam koalisi yang berkuasa di Belgia, termasuk Mouvement Reformateur yang berbahasa Prancis.
Haouach, putri seorang diplomat Maroko, sebelumnya mengatakan larangan memakai simbol agama di Belgia adalah bentuk diskriminasi. Dia kemudian menyebut komentarnya kepada surat kabar Le Soir merupakan salah satu bentuk kecanggungan.
Haouach telah ditunjuk ke IEFH oleh partai Eco-Green dan Sekretaris Negara Sarah Schlitz. Pada Senin, baik PM De Croo dan Schlitz harus menjelaskan kepada parlemen tentang memo keamanan negara, yang mengklaim ada kecurigaan hubungan antara Haouach dan Ikhwanul Muslimin.
Haouach telah membantah klaim tersebut. Pemerintah Belgia mengatakan memo itu dirahasiakan dan tidak terkait dengan pengunduran dirinya. Menurut para peneliti, sekitar lima hingga tujuh persen dari populasi Belgia adalah Muslim.