Selasa 13 Jul 2021 16:34 WIB

Restorative Justice Dokter Lois dan Hoaks Interaksi Obat

Dokter Lois mengakui opininya di media sosial membutuhkan penjelasan medis.

Tangkapan layar profil akun Twitter dr Lois Owien, dokter umum yang kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial soal Covid-19.
Foto: Tangkapan layar
Tangkapan layar profil akun Twitter dr Lois Owien, dokter umum yang kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial soal Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Ali Mansur, Febrianto Adi Saputro

Hoaks seputar Covid-19 menjadi masalah yang tak kunjung tuntas. Kasus terbaru muncul dari ujaran kontroversi dr Lois Owien terkait penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air.

Baca Juga

Di media sosial, Lois jelas menyatakan virus corona tidak nyata. Ia juga menyebut banyaknya pasien yang meninggal adalah akibat dari interaksi obat. Bukan akibat penyakit Covid-19.

Setelah menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, kepolisian memutuskan mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara ujaran kontroversi dr Lois Owien. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol Slamet Uliadi, dalam keterangan tertulisnya, menyebutkan Polri mengedepankan keadilan restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di masyarakat.

"Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau diistilahkan ultimum remidium. Sehingga, Polri dalam hal ini mengedepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain," kata Slamet, Selasa (13/7).

Slamet menjelaskan, dalam menjalani serangkaian pemeriksaan intensif di kepolisian, dr Lois mengakui kesalahannya atas sejumlah opini mengenai Covid-19. Kepada penyidik, dr Lois yang berstatus terduga, memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku dokter atas fenomena pandemi Covid-19 tersebut.

"Segala opini terduga yang terkait Covid-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset," kata Slamet. Ia menyebutkan, ada asumsi yang dibangun sendiri oleh dr Lois, seperti kematian karena Covid-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien.

"Kemudian, opini terduga terkait tidak percaya Covid-19, sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi Covid-19 yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset," ujar Slamet.

Kepada polisi, Lois mengakui opini yang dipublikasikan di media sosial, membutuhkan penjelasan medis. Namun, hal itu justru bias karena di media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya. Dalam klarifikasinya dr Lois mengakui perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi kedokteran.

Salah satu kontroversi dr Lois adalah meninggalnya penderita akibat interaksi obat. Guru besar farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt memberi penjelasan mengenai interaksi obat dan dampaknya.

"Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien. Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau additif), atau mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan," ujar Zullies dikutip dari keterangan yang diterima, Selasa (13/7).

Berdasarkan penjelasan tersebut, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual. Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).

Hal serupa juga terjadi pada kasus pasien-pasien Covid-19 yang memiliki komorbid. Zullies kemudian menyebutkan hipertensi sebagai contoh penyakit yang tidak bisa terkontrol hanya dengan obat tunggal. Kadang jenis penyakit ini membutuhkan obat antihipertensi lain yang dikombinasikan dengan dua atau tiga obat antihipertensi lainnya.

Dalam kasus ini Zullies menjelaskan bahwa pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda. "Sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah," jelas Zullies.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement