REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting untuk memberikan perlindungan bagi korban. Sebab, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ada saat ini tidak berorientasi kepada hak korban.
"KUHAP tidak berorientasi kepada hak korban, tetapi tersangka atau terdakwa," ujar Sri dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (13/7).
Ia menjelaskan, hanya ada beberapa jenis kekerasan seksual yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tetapi dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas."Peraturan perundang-undangan yang ada belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas, dan berkelanjutan," ujar Sri.
Di samping itu, ia masih melihat adanya stereotip buruh terhadap korban. Hal inilah yang membuat banyak korban kekerasan seksual yang justru seakan-akan disudutkan oleh masyarakat.
"Juga judicial stereotyping, peradilan tak independen, menyangkal keterangan korban, menstigma atau menyalahkan korban," ujar Sri.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati mendorong pengesahan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurutnya, regulasi tersebut dapat menjadi jaminan bagi para korban untuk memperoleh keadilan.
"Baiknya Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat tentang jaminan rasa aman dan keadilan bagi korban yang kuat," ujar Mike.
RUU PKS diharapkan memberikan kepastian perlindungan kepada para korban kekerasan seksual. Sebab, hingga saat ini para korban kerap kesulitan untuk mengadu atau menyuarakan kasus yang dialaminya.
"Kalau kita bicara RUU PKS itu adalah suara korban. Suara korban yang selama ini mereka sulit untuk bersuara atau mengadu," ujar Mike.