Oleh : KH Ade Muzaini Aziz, Lc, MA, pengurus Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Tangerang
REPUBLIKA.CO.ID, — Sudah setahun lebih Covid-19 menyerang Indonesia, lalu menjadi pandemi, kemudian mengganas akhir-akhir ini. Dulu kita mengenal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sekarang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang tengah diberlakukan.
Sungguh banyak hal berubah, di setiap dimensi kehidupan. Tidak terkecuali kehidupan keberagamaan dan peribadatan, termasuk di kalangan kaum Muslimin.
Beberapa hipotesis, bahkan merupakan fakta sains dunia medis, yang mendasari perubahan pola keberagamaan dan peribadatan tersebut, antara lain bahwa kerumunan dapat mengakibatkan penularan, baik melalui droplet (percikan air), airborne (udara), maupun sentuhan dengan permukaan yang terkontaminasi.
Selain itu adanya orang tanpa gejala (OTG), di mana ia positif terpapar Covid-19, namun di satu sisi bisa jadi ia tidak menyadarinya, dan di sisi lain ia berpotensi menularkan ke orang lain.
Kemudian, hal tersebut melahirkan beberapa perubahan perilaku keberagamaan dan peribadatan, yang dinarasikan melalui anjuran, kebijakan, aturan, bahkan fatwa, antara lain sholat dengan menjaga jarak antarjamaah, sholat dengan memakai masker, larangan bersalam-salaman, khutbah dan sholat yang dipersingkat (Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, dan lain-lain), larangan kegiatan ibadah secara berkerumun (berjamaah) di masjid, mushalla, juga tempat terbuka (lapangan, misalnya), penutupan majelis taklim dan kegiatan-kegiatannya, penangguhan keberangkatan haji dan umrah, dan lain sebagainya.
Pro-kontra muncul, dengan argumennya masing-masing. Wajar. Tidak seperti fiqh thahârah (bersuci), fikih sholat, fikih puasa, dan varian fikih lainnya, ini tak lain karena fikih pandemi bukan barang konsumsi sehari-hari. Ia adalah varian fikih yang sangat jarang diulas dan diajarkan, sebagaimana jarangnya pandemi itu sendiri terjadi.
Beda 'azimah dan rukhshah
Dalam fikih, dikenal dua jenis hukum, yaitu ‘azimah (عزيمة) dan rukhshah (رخصة). Sederhananya, azimah adalah hukum umum yang disyariatkan secara mendasar untuk menjadi aturan umum bagi setiap mukallaf (pihak yang dibebani hukum syariat) di semua kondisi.
Adapun rukhshah adalah hukum yang disyariatkan akibat adanya ‘udzur (alasan hukum yang meringankan, seperti masyaqqah/beban berat dan hâjah/keperluan mendesak) yang dihadapi mukallaf (Muslim wajib hukum).
'Azimah dibagi menjadi lima kategori yaitu (1) wâjib (diwajibkan), (2) mandûb (dianjurkan), (3) mubâh (dibolehkan), (4) makrûh (tidak disukai), dan (5) harâm (tidak boleh).
Sementara rukhshah dibagi menjadi empat jenis hukum: (1) wâjib (diwajibkan); (2) mandûb (dianjurkan), (3) mubâh (dibolehkan), (4) khilâful awlâ (menyelisihi yang ideal).
Sekadar contoh, sholat Zhuhur empat rakaat adalah azimah kategori wâjib. Namun, saat seseorang dalam perjalanan dengan waktu tempuh minimal tiga hari, maka ia boleh meng-qashr (memangkas) sholat Zhuhurnya menjadi dua rakaat saja, sebagai bentuk rukhshah kategori mandûb.