Rabu 14 Jul 2021 18:29 WIB

Siapkah Pemerintah Tanggung Dampak Ekonomi Perpanjangan PPKM

Perpanjangan PPKM diprediksi buat ekonomi kuartal tiga tumbuh minus 0,5 persen.

Seorang warga melintas di kawasan pertokoan Jalan Gatot Subroto yang sepi dari aktivitas dampak Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Solo, Jawa Tengah, Rabu (14/7/2021). Kenaikan kasus Covid-19 yang masih terus terjadi membuat wacana perpanjangan PPKM Darurat muncul.
Foto: ANTARA/MOHAMMAD AYUDHA
Seorang warga melintas di kawasan pertokoan Jalan Gatot Subroto yang sepi dari aktivitas dampak Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Solo, Jawa Tengah, Rabu (14/7/2021). Kenaikan kasus Covid-19 yang masih terus terjadi membuat wacana perpanjangan PPKM Darurat muncul.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Novita Intan, Fauziah Mursid

Sinyal perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyrakat (PPKM) Darurat muncul. Kurva kasus positif Covid-19 yang belum melandai diduga akan menjadi alasan perpanjangan PPKM Darurat.

Baca Juga

Apalagi hari ini (14/7), kasus baru Covid-19 menyentuh rekor perdana di kisaran 50 ribu kasus. Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan kasus positif sebenarnya jauh lebih tinggi karena masyarakat lebih banyak tes antigen yang hasilnya non-reaktif dibandingkan tes PCR.

"Yang penting Pemerintah serius masyarakat menaati. Tapi PPKM harus diperpanjang, setidaknya sampai kasus di RS tinggal 60 persen, tidak seperti sekarang yang 100 persen," kata Miko kepada Republika, Rabu (14/7).

Miko menilai Pemerintah perlu mencontoh Malaysia yang lebih serius dalam pemberlakuan pembatasan sosial hingga lockdown. Apabila tidak mampu melakukan lockdown, lanjut Miko, Pemerintah harus memperpanjang PPKM.

Selama PPKM pun Pemerintah harus melengkapi fasilitas darurat di seluruh Puskesmas Kelurahan dan Kecamatan. Apalagi saat ini di Puskesmas hanya tersedia antigen dan belum mampu menyediakan tes PCR.

Perpanjangan PPKM Darurat tentunya akan sangat berdampak pada ekonomi. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai, apabila skenario ini terjadi, kondisi terburuknya adalah perusahaan yang mengajukan pailit akan meningkat tajam. Sektor seperti retail, perhotelan, restoran dan transportasi yang sensitif terhadap penurunan mobilitas akan melanjutkan kontraksi hingga kuartal ke III.

"Jika PPKM Darurat diperpanjang, maka gelombang PHK harus diantisipasi oleh Pemerintah lewat anggaran perlindungan sosial yang memadai, termasuk bantuan subsidi upah yang besarannya Rp 5 juta per penerima untuk 3 bulan dan bansos tunai," ujar Bhima.

Menurutnya, bansos tunai tidak cukup hanya Rp 300 ribu per bulan, seharusnya minimal Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per keluarga penerima bantuan. Pemerintah dinilai cukup mampu memberikan bansos sejumlah tersebut, dengan melakukan beberapa realokasi anggaran.

"(Anggarannya) cukup, tinggal realokasi anggaran dari proyek infrastruktur Rp 400 triliun, belanja pegawai dan belanja barang. Beberapa bisa digeser ke perlindungan sosial," kata Bhima.

Bila PPKM Darurat diperpanjang, pertumbuhan ekonomi di kuartal III diperkirakan akan menjadi minus 0,50 persen. "Target pemerintah di Q3 soal pertumbuhan positif di atas 3 persen terlalu overshoot, kondisi PPKM darurat membuat konsumsi masyarakat kembali menurun. Proyeksi pertumbuhan di Q3 bahkan bisa minus 0,5 persen jika PPKM diperpanjang," ujar Bhima.

Bhima memaparkan, pada periode Lebaran masih ada THR yang dibayar penuh, sementara pada kuartal III tidak ada momen yang mendorong belanja masyarakat. Secara musiman, kuartal III pasca Lebaran pertumbuhan cenderung lebih rendah. Jadi ia menilai optimisme Pemerintah dengan target tersebut adalah 'pepesan kosong'.

Kondisi diperparah dengan pendapatan masyarakat yang lebih rendah dibanding kuartal III tahun 2020. "Waktu itu masyarakat kelas menengah masih menyimpan tabungan, sekarang jauh berbeda bahkan aset pun digadaikan atau terpaksa dijual," kata Bhima.

Dari sisi belanja Pemerintah pun nampaknya tidak bisa diandalkan karena Pemerintah harus berjuang menutup pelebaran defisit. Misalnya realisasi PEN yang rendah, meski sudah semester I.

Awalnya masyarakat sudah mulai percaya diri berbelanja dari awal tahun sampai momen Lebaran, tapi optimisme konsumen kembali turun dengan adanya pembatasan sosial.

Menurutnya, kondisi terburuknya adalah perusahaan yang mengajukan pailit akan meningkat tajam. Sektor seperti retail, perhotelan, restoran dan transportasi yang sensitif terhadap penurunan mobilitas akan melanjutkan kontraksi hingga kuartal ke III. Perusahaan yang sebelumnya mau ekspansi, namun gagal, sehingga ada cost atau biaya ketidakpastian.

Ia menilai, biaya akibat ketidakpastian ini bisa ditekan asalkan pemerintah bisa secepatnya turunkan kasus harian Covid-19 dibawah 5.000. "Pelaku usaha dan masyarakat rela berkorban, tetapi harus jelas juga target pengendalian Covid-nya," kata Bhima.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement