REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak sembarang orang bisa menafsirkan Alquran. Dengan kapasitas dan syarat tertentu seseorang dapat dikatakan sebagai mufasir (ahli tafsir).
Dalam buku Ilmu Tafsir karya Ustadz Ahmad Sarwat terdapat beberapa syarat agar seseorang bisa menjadi mufasir. Pertama, ia harus sehat akidah. Akidahnya tidak boleh menyimpang karena jika menyimpang, maka yang bersangkutan bisa saja 'memperkosa' ayat-ayat Alquran demi kepentingan penyelewengannya.
Kedua, terbebas dari hawa nafsu. Seluruh mufasir memang dilarang menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi maupun kelompok dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Dia harus betul-betul menanggalkan subjektivitasnya.
Ketiga, menafsirkan Alquran dengan Alquran. Karena Alquran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya dan tidak saling bertentangan. Maka, sebelum mencari dari penjelasan keterangan lain, yang harus dirujuk pertama kali dalam menafsirkan adalah ayat Alquran itu sendiri.
Keempat, menafsirkan Alquran dengan sunnah. Seorang mufasir harus membaca dan memahami semua hadits Nabi secara lengkap, yakni dengan memilah dan memilihnya hanya pada hadits yang maqbul (diterima) saja.
Kelima, merujuk pada perkataan sahabat. Keenam, merujuk pada perkataan tabiin.
Ketujuh, menguasai ilmu bahasa Arab. Kedelapan, menguasai ilmu yang terkait dengan ilmu tafsir dan juga ulumul-quran. Kesembilan, pemahaman yang mendalam.