Diskominfo: Ajakan Hindari Berita COVID-19 Kontraproduktif
Red: Ratna Puspita
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Rony Primantoro menilai konten yang menyebar di media sosial mengenai ajakan untuk berhenti mengunggah berita COVID-19 kontraproduktif terhadap upaya penanganan pandemi di Tanah Air. (Foto ilustrasi: media sosial) | Foto: pixabay
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Rony Primantoro menilai konten yang menyebar di media sosial mengenai ajakan untuk berhenti mengunggah berita COVID-19 kontraproduktif terhadap upaya penanganan pandemi di Tanah Air. Rony memastikan konten ajakan tersebut bukan berasal dari institusi pemerintah atau instansi resmi lainnya.
Sebelumnya, beredar poster di media sosial dengan konten berbunyi "Warga Yogyakarta kompak untuk tidak upload berita tentang COVID-19 agar masyarakat damai dan suasana kembali normal. Kembalikan Jogjaku seperti dulu kala, kembalikan Indonesiaku seperti dulu kala". "Sepertinya ini hanya menyebar di kalangan netizen tertentu dengan tujuan tertentu juga," ujar Rony saat dihubungi di Yogyakarta, Kamis (15/7).
Ia menuturkan informasi yang wajib dilawan atau dihindari saat ini adalah informasi hoaks atau kabar bohong seputar COVID-19, bukan berita yang telah tervalidasi kebenarannya. "Sebetulnya yang membuat masyarakat gelisah, bingung, dan bahkan ketakutan adalah informasi-informasi hoaks yang penyebarannya sangat masif di kalangan masyarakat melalui berbagai saluran media sosial yang ada," kata dia.
Menurut dia, berita yang menginformasikan mengenai bagaimana penanganan COVID-19 yang benar dari institusi resmi atau pihak yang berkompeten justru harus selalu disebarkan. Selain mengedukasi, konten-konten berita yang kredibel juga mampu menumbuhkan semangat bagi masyarakat yang sedang terpapar COVID-19.
"Menurut saya harus dipilah, mana yang tidak perlu kita sebarkan, dan yang perlu. Yang tidak perlu kita sebarkan adalah berita-berita hoaks yang meresahkan dan provokatif, sehingga bisa menurunkan imun," kata dia.
Menurut Rony, ciri-ciri informasi hoaks bisa dikenali melalui narasi yang disebar, seperti menggunakan kalimat yang provokatif dan kerap menyebar melalui media sosial seperti whatsapp. Melalui sarana medsos, pengguna dapat pula merekayasa informasi kemudian menyebarkan kembali.
"Meskipun mencatut nama seorang tokoh atau pejabat, tetap perlu diklarifikasi sebab tulisan di whatsapp bisa diedit," kata dia lagi.
Sedangkan berita yang berasal dari media massa yang terverifikasi, menurut dia, tidak perlu dihindari. Meski memuat fakta COVID-19, ia juga berharap media massa mampu memilah kalimat yang bisa menumbuhkan harapan masyarakat untuk bangkit.
Rony menyebut persebaran informasi hoaks di media sosial cukup masif. Sejak awal pandemi hingga saat ini atau selama 17 bulan, tercatat sebanyak 2.800 informasi hoaks beredar. "Awal vaksin sampai sekarang atau selama 6 bulan kurang lebih ada 700 kabar hoaks mengenai vaksin. Ini memengaruhi pandangan masyarakat, juga pengetahuan masyarakat terkait penanganan COVID-19," kata dia pula.