Jumat 16 Jul 2021 05:00 WIB

Erdogan Bangun Ekonomi Turki, Tetapi Kini Terancam Gagal

Bank Dunia perkirakan 1,5 juta warga Turki jatuh di bawah garis kemiskinan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Foto: Mustafa Kamaci/Turkish Presidency via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Dukungan terhadap Presiden Turki Tayyip Erdogan disebut telah merosot akibat krisis mata uang, resesi tajam, dan pandemi virus Corona dalam tiga tahun terakhir. Terlebih lagi aliansi koalisi terus menurun meski partainya masih berkuasa dan mendapatkan dukungan.

"Jika Anda melihat peringkat jajak pendapat Presiden Erdogan bersama dengan latar belakang ekonomi yang sulit, cukup sulit untuk benar-benar membayangkan kondisi selama 12 bulan ke depan bagi mereka untuk berpikir pemilihan terlihat menguntungkan," kata direktur Fitch Ratings untuk negara Eropa, Douglas Winslow.

Baca Juga

Tahun ini, pertumbuhan ekonomi telah melonjak kembali setelah Turki menjadi salah satu dari sedikit negara yang menghindari kontraksi pada 2020. Namun kerusakan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir termasuk kembalinya inflasi sebesar 20 persen, terutama pada makanan dan barang-barang pokok lainnya. Bank Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 juta orang Turki jatuh di bawah garis kemiskinan tahun lalu.

Indeks pendapatan dan distribusi kekayaan Gini menunjukkan ketidaksetaraan telah meningkat sejak 2011 dan dipercepat sejak 2013. Kondisi ini menghapus keuntungan besar yang dibuat pada 2006-2010, selama dekade pertama Erdogan berkuasa.

Ditarik ke belakang, pemimpin terlama Turki modern ini memenangkan kekuasaan pada 2002 setelah kemerosotan terburuk sejak tahun 1970-an. Dia memberikan janji untuk memutuskan salah urus dan resesi yang telah lama membuat frustrasi orang Turki yang menginginkan kehidupan yang lebih baik.

Perdana menteri saat itu Erdogan memanfaatkan rebound ekonomi dan poros diplomatik ke Barat untuk membawa kemakmuran selama satu dekade. Kemiskinan dan pengangguran merosot. Inflasi yang berada di tiga digit satu dekade sebelumnya menyentuh 5 persen, meningkatkan daya tarik lira Turki untuk penduduk lokal dan asing.

Erdogan tampak tak tersentuh ketika itu. Namun, kondisi mulai berubah pada 2013, ketika protes anti-pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya melanda Turki. Ditambah lagi pasar negara berkembang secara global melihat eksodus keuangan yang menyakitkan karena ekonomi yang lebih meningkat.

Analisis Reuters menunjukkan tahun itu menandai titik balik untuk PDB per kapita, pengangguran, dan ukuran kesejahteraan ekonomi lainnya. Pada 2013 juga, menurut statistik kepemilikan obligasi resmi dan Monitor Data Turki, merupakan tanda yang tinggi untuk investasi asing. Nilai lira sejak itu jatuh, melemahkan daya beli global Turki.

Erdogan mengejutkan banyak orang ketika pemerintahnya membatalkan protes 2013 yang dimulai di Taman Gezi Istanbul. Sikap ini pun justru menimbulkan gelombang yang berlawanan. Upaya kudeta 15 Juli 2016, kemudian memicu keadaan darurat yang keras yang menurut para analis mendorong kesejahteraan ekonomi Turki lebih jauh ke selatan.

"Sejak 2013, AKP dan Erdogan telah bergerak untuk lebih meningkatkan otoritarianisme, yang mungkin merugikan ekonomi dalam berbagai cara," kata asisten profesor sosiologi Sabanci University Ates Altinordu merujuk pada Partai AK (AKP).

Ketika penghematan yang diberlakukan di bawah program Dana Moneter Internasional 2001-2002 mereda, Erdogan menganut kebijakan pasar bebas yang diperlukan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Krisis keuangan global 2008-2009 melanda Turki tetapi juga membawa serbuan investor yang mencari keuntungan di pasar negara berkembang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement