REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengadilan Uni Eropa (ECJ) mengumumkan pada Kamis (16/7) pemilik perusahaan bisa melarang karyawan mereka mengenakan simbol agama atau keyakinan politik. Keputusan tersebut dilakukan untuk menampilkan sikap netral atau mencegah konflik sosial.
Dalam putusannya pada Kamis (15/7), pengadilan harus mempertimbangkan apakah larangan itu sesuai dengan kebutuhan pihak pemberi kerja.
Mereka juga harus mempertimbangkan hak dan kepentingan karyawan, termasuk dengan mempertimbangkan undang-undang nasional tentang kebebasan beragama. Pengadilan mengatakan, larangan mengenakan segala bentuk ekspresi keyakinan politik, filosofis atau agama yang terlihat di tempat kerja, bertujuan untuk menghadirkan citra netral atau mencegah perselisihan sosial.
“Namun, larangan itu harus sesuai dengan kebutuhan dari pihak pemberi kerja. Pengadilan nasional dapat mempertimbangkan konteks khusus dari negara anggota mereka dan tentang perlindungan kebebasan beragama," ujar pengadilan tinggi UE, dilansir Aljazirah, Kamis (15/7).
Kasus ini dibawa ke pengadilan dua wanita di Jerman yang diskors dari pekerjaan mereka setelah mengenakan jilbab. Salah satu wanita Muslim itu bekerja di pusat penitipan anak di Hamburg yang dijalankan asosiasi amal, dan seorang wanita Muslim lainnya bekerja sebagao kasir di rantai apotek Mueller.
Awalnya, mereka tidak mengenakan jilbab ketika mulai bekerja. Tetapi, mereka memutuskan untuk mengenakan jilbab setelah mengambil cuti. Para atasan dari masing-masing wanita Muslim itu telah melarang mereka menggunakan jilbab. Kedua wanita Muslim itu diminta melepaskan jilbab mereka atau ditempatkan pada bidang pekerjaan yang berbeda.
ECJ menjelaskan larangan tersebut bukan merupakan diskriminasi jika secara sistematis diterapkan pada semua kepercayaan.
Akan tetapi larangan mengenakan pakaian atau simbol yang mencolok seperti penutup kepala dapat menjadi diskriminasi langsung dan tidak dapat dibenarkan. Sebab, hal itu bisa mengakibatkan beberapa karyawan diperlakukan kurang baik daripada yang lain atas dasar agama atau kepercayaan mereka.
Aturan larangan itu dilakukan demi mewujudkan sikap netral terutama di bidang pendidikan yang orang tua mungkin berharap anak-anak mereka diawasi oleh orang-orang yang netral. Selain itu, pemilik perusahaan juga harus membuktikkan tidak menerapakan larangan itu dapat merugikan kegiatannya.
Negara-negara anggota Uni Eropa dapat mempertimbangkan ketentuan nasional saat memeriksa kelayakan larangan tersebut. Perundang-undangan tentang tanda-tanda keagamaan di ruang publik mungkin berbeda di 27 negara anggota.
Beberapa negara misalnya melarang cadar yang menutup seluruh wajah di tempat umum sementara yang lain memilih larangan sebagian. Sehingga ECJ menyerahkan larangan ini berdasarkan undang-undang negara-negara anggota tentang kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Dilansir Euro News, Jumat (16/7), Maryam H'madoun dari Open Society Justice Initiative (OCJI) memperingatkan keputusan tersebut dapat menyebabkan banyak wanita Muslim serta minoritas agama lainnya dikeluarkan dari peran yang dihadapi publik di tempat kerja.
“Hukum, kebijakan, dan praktik yang melarang pakaian keagamaan menjadi sasaran manifestasi Islamofobia yang berusaha mengecualikan wanita Muslim dari kehidupan publik atau membuat mereka tidak terlihat,” kata H’madoun dalam sebuah pernyataan.
“Pengadilan di seluruh Eropa dan Komite Hak Asasi Manusia PBB telah menekankan pemakaian jilbab tidak menyebabkan segala bentuk bahaya,” tambahnya.
Sebaliknya, kebijakan dan praktik semacam itu kata dia bisa meningkatkan risiko kekerasan dan kejahatan rasial yang tinggi terhadap wanita dari agama minoritas Eropa. Ini juga memengaruhi peningkatkan xenofobia dan diskriminasi rasial.
Keputusan serupa pernah dibuat pada 2017. Pengadilan Uni Eropa di Luksemburg telah mengatakan bahwa, perusahaan dapat melarang staf mengenakan jilbab dan simbol agama lain yang terlihat dalam kondisi tertentu.
Keputusan ini telah memicu reaksi keras di antara kelompok-kelompok agama. Larangan jilbab bagi perempuan di tempat kerja telah menjadi isu hangat yang diperdebatkan di Jerman selama bertahun-tahun. Para kritikus menyebut itu tidak adil bagi wanita Muslim.
Sumber: euronews