Jumat 16 Jul 2021 10:25 WIB

Microsoft: Malware Perusahaan Israel Retas Komputer Aktivis

Hampir setengah korban peretasan Israel berada di wilayah Palestina

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Peretasan. Ilustrasi. Microsoft mengatakan mereka mengganggu malware perusahaan swasta Israel yang digunakan peretas untuk memata-matai aktivis hak asasi dan politik negara lain.
Foto: PC World
Peretasan. Ilustrasi. Microsoft mengatakan mereka mengganggu malware perusahaan swasta Israel yang digunakan peretas untuk memata-matai aktivis hak asasi dan politik negara lain.

REPUBLIKA.CO.ID, TORONTO -- Microsoft mengatakan mereka mengganggu malware perusahaan swasta Israel yang digunakan peretas untuk memata-matai aktivis hak asasi dan politik negara lain. Microsoft menyelidiki malware yang dinamakan 'Sourgum' usai mendapat laporan dari peneliti Citizen Lab.

Citizen Lab sebuah organisasi pengawas di Munk School of Global Affairs, University of Toronto. Jumat (16/6) al-Monitor melaporkan Microsoft mengatakan malware Sourgum tampaknya menggunakan kode jahat atau exploit melalui peramban dan Windows termasuk exploit zero-day.

Baca Juga

Perentas mengirimkan exploit peramban yang menargetkan URLs sekali pakai melalui aplikasi kirim pesan seperti WhatsApp. Citizen Lab menyimpulkan dengan keyakinan tinggi aktor yang Microsoft sebut Sourgum adalah perusahaan Israel yang bernama Candiru.

Menurut organisasi tersebut, Candiru menjual teknologi spionase atau spyware yang dapat menginfeksi dan mengawasi berbagai perangkat dan platform, termasuk sistem operasi Windows milik Microsoft. Citizen Lab mengatakan Candiru eksklusif melayani pemerintah negara-negara asing. Sebelumnya perusahaan itu dilaporkan menjual produk-produk mereka ke lembaga pemerintah Uzbekistan, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.

Microsoft dan Citizen Lab mengatakan malware ini digunakan dalam 'serangan presisi' tinggi yang menargetkan lebih dari 100 orang di seluruh dunia. Termasuk politis, aktivis hak asasi manusia, jurnalis, akademi, pegawai kedutaan besar dan aktivis politik.

Hampir setengahnya korban diidentifikasi berada di wilayah Palestina. Sementara sisanya di Israel, Iran, Lebanon, Yaman, Catalonia, Inggris, Turki, Armenia, dan Singapura.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement