Oleh : KH Ahmad Rusdi, Dewan Pakar Persatuan Dosen Agama Islam Nusantara dan Pembina Alghanna Institute
REPUBLIKA.CO.ID, — Bila menilik kata ‘qurban’ dari asal kata bahasa Arabnya, berasal dari kata qaruba ( قَرُبَ – قُرْبًا –قُرْبَانًا) yang dengan segala bentuk derivasinya antara lain berarti dekat, mendekati dan persembahan.
Dengan demikian qurban merupakan persembahan kita (dengan menyembelih hewan qurban) guna mendekatkaan diri kepada Allah sebagai implementasi dari ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan hewan ternak tertentu dan di waktu yang telah ditentukan.
Karena qurban itu masuk dalam ranah ibadah, maka ada aturan main yang harus ditaati sehingga secara syar’i dikatakan sah hukumnya. Aturan qurban dan hal-hal yang terkait dengannya inilah yang lazim dibahas dalam kitab-kitab fiqih dengan nama ‘udhiyyah’ dan ada juga yang membahasnya di bab "al-dzabaih".
Terkait dengan udhiyyah atau qurban, para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Mazhab Hanafi
Hukum qurban dari riwayat yang ada, mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, berpendapat hukumnya wajib satu kali setiap tahun bagi mukim, yaitu orang yang menetap di negerinya.
Sementara dalam riwayat yang lain, sebagaimana dikatakan Thahawi, ada beda pendapat. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat hukumnya sunnah muakkadah ( Baca: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Az Zuhailiy, juz 3, Dar al-Fikr, 2008, hal 597).
2. Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali
Berpendapat hukum qurban, sunnah muakkadah, bukan wajib, dan makruh meninggalkannya bagi orang yang mampu melakukannya.
Hanya saja dalam Mazhab Syafii diperinci kembali, bahwa hukum qurban itu bersifat sunnah ainiyyah bagi setiap Muslim sekali seumur hidupnya, dan juga bersifat sunnah kifayah dimana bila ada satu anggota keluarga yang telah berqurban maka tuntutan berqurban sunnah bagi anggota keluarga yang lain gugur atau dipandang sudah mewakili seluruh keluarga. Bukan berarti tidak boleh.
Sunnah kifayah ini hampir sama penjelasannya dengan fardhu kifayah, dimana bila sudah ada yang melakukannya maka tuntutan melakukannya bagi muslim yang lainnya gugur, karena sudah ada yang melaksanakan. Namun bukan berarti tidak boleh melakukan.
Mengapa para ulama berbeda?
Perbedaan terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menggunakan dalil. Berikut satu dalil yang digunakan para imam mazhab dalam memberikan argumentasi pendapat mereka. Imam Abu Hanifah misalnya, berpendapat wajib karena ada hadits yang menyatakan: