Oleh : KH Ahmad Rusdi, Dewan Pakar Persatuan Dosen Agama Islam Nusantara dan Pembina Alghanna Institute
REPUBLIKA.CO.ID, — Ibadah qurban merupakan ibadah istimewa yang khusus dilakukan pada Dzulhijjah.
Ada beberapa persoalan hukum dan tata cara pelaksanaan qurban menurut aspek fiqih Islam dan penyelenggaraannya dalam konteks pandemi Covid-19. Berikut ini lima persoalan seputar pelaksanaan ibadah qurban:
1. Memotong kuku
Bagi yang ingin dan berniat berqurban maka disunnahkan untuk tidak memotong kuku dan rambutnya berdasarkan hadits yang terdapat pada bahasan renungan subuh sebelumnya (hadits yang digunakan sebagai argument pendapat tiga imam mazhab tentang hukum berqurban).
Hanya kemudian ada yang berpendapat makruh hukumnya bagi yang berqurban bila memotong kuku dan rambut sebelum hewan qurbannya disembelih. Bahkan sebagian dari Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal) dan ada yang berpendapat hukumnya haram bila memotong rambut dan kuku. (Baca al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhailiy, juz 3, Dar al-Fikr, 2008, hal 624).
2. Kapan qurban berubah wajib?
Dalam berqurban, hewan qurban bisa berubah status hukumnya dari yang semula hewan qurban sunnah menjadi hewan qurban wajib. Hal ini disebabkan karena kita bernazar misalnya dengan mengatakan: “Kalau anak saya diterima di PTKIN (UIN misalnya) saya akan berqurban.”Alhamdulillah anaknya lulus dan diterima, maka qurban bagi yang bernazar menjadi wajib.
Atau dengan sebab memberi isyarat, contohnya, perkataan seseorang (setelah membeli kambing), Kambing ini qurban saya atau kambing ini aku jadikan sebagai qurban”,maka hewan qurban tersebut menjadi qurban wajib, meskipun orang tersebut tidak menyadari bahwa kata-kata itu menjadikan qurban wajib. Solusinya agar tidak menjadi qurban wajib, hendaknya dia mengatakan:”Ini hewan qurbanku yang sunnah.” Atau “Saya akan melakukan sunnah qurban.”
Yang perlu diperhatikan dalam kaitan qurban wajib dan sunnah adalah konsekuensi saat hewan telah disembelih, dimana bagi qurban wajib tidak boleh orang yang berqurban dan keluarganya serta orang-orang menjadi tanggung jawab dalam kehidupannya menikmati daging qurban wajib ini.
Jadi daging qurban wajib, harus disedekahkan semuanya kepada mustahik. Berbeda dengan qurban sunnah, dimana yang berqurban atau kelurganya boleh menikmati daging qurban sunnahnya tersebut.
Bahkan bagi qurban wajib, bila yang berqurban atau keluarganya memakan daging qurban tersebut maka wajib menggantinya (Baca: Syekh Dr Musthafa al-Bugha, al-fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam al-Syafii, Juz 1, Dar al-‘Ulum al-Insaniyah, 1989, hal 235).