Jumat 16 Jul 2021 15:07 WIB

Ghalayeeni dan Kopi Pahit, Sepahit Kehidupannya di Lebanon

Kehidupan di Lebanon memburuk akibat krisis multidimensi di negara itu

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Pengemudi mengantre di luar SPBU di tengah kekurangan bahan bakar di Beirut, Lebanon pada 28 Juni 2021.
Foto: Anadolu Agency
Pengemudi mengantre di luar SPBU di tengah kekurangan bahan bakar di Beirut, Lebanon pada 28 Juni 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Zakaria Ghalayeeni telah mengendarai taksi di sekitar Beirut sejak  berusia 18 tahun dan pada usia 76 tahun masih mengemudi. Pekerjaan itu masih menemaninnya dalam masa tergelap Lebanon. 

"Kami belum pernah merasakan penghinaan ini sebelumnya, bahkan selama perang saudara," kata Ghalayeeni ketika bergabung dengan antrean bensin yang kemungkinan akan berlangsung berjam-jam. 

Baca Juga

Lebanon berada dalam pergolakan krisis keuangan. Mata uangnya telah kehilangan lebih dari 90 persen nilainya dalam hampir dua tahun dan lebih dari setengah populasi telah didorong ke dalam kemiskinan. 

Kekurangan pasokan dasar seperti bahan bakar membuat pengendara mengantre berjam-jam untuk mendapatkan bensin di akhir penantian panjang. Kondisi ini  membuat hidup Ghalayeeni menjadi perjuangan sehari-hari. 

Ghalayeeni meninggalkan rumahnya pada pukul 07:30 dan berkeliling hampir sepanjang hari. Ketika dia pertama kali memulai sebagai remaja, naik taksi bernilai 1 pound. Namun, meskipun perjalanan sekarang menghasilkan sekitar 10 ribu pound, dia hanya menghasilkan antara 50 ribu dan 100 ribu pound sehari.

Sebelum krisis penghasilannya menjadi hampir 70 dolar AS tetapi sekarang penghasilannya kurang dari 5 dolar AS pada tarif jalanan. "Mobil ini sudah tidak ada gunanya lagi, hanya makan dan minum dan perlu diperbaiki, lebih dari itu tidak ada," katanya.

Saat Ghalayeeni menunggu di Lapangan Martir pusat Beirut untuk menerima panggilan mengangkut penumpang, dia merenungkan ketenangan di daerah yang dulunya ramai dengan kehidupan. 

"Ada di atas orang ada orang lebih tinggi, sekarang tidak ada apa-apa, tidak ada taksi, tidak ada orang, hanya kosong," katanya.

Tapi terlepas dari antrean bensin yang tak ada habisnya dan kekurangan pelanggan, Ghalayeeni tetap melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak memiliki pendapatan alternatif. 

Pendamping saat menunggu adalah foto mendiang istrinya, yang meninggal lima tahun lalu, yang Ghalayeeni simpan di dasbornya. 

Sesuai dengan kebiasaan Arab pada pemakaman dan waktu pengujian lainnya, dia telah berhenti mengonsumsi gula dalam kopi hariannya. "Secangkir kopi akan selalu pahit seperti hidup ini," katanya.  

 

 

 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement