REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Rr Laeny Sulistyawati
Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejak 3 Juli membuat peran militer dalam penanganan Covid-19 tampak lebih nyata. Kehadiran tank sebagai penyekat di sejumlah ruas jalan saat PPKM baru berlaku adalah wujud nyata peran militer.
Pelibatan militer namun perlu dibenahi agar kehadiran tentara dalam penanganan pandemi menjadi lebih bermakna. "Yang perlu kita pahami adalah militer ini kan memang didesain salah satunya untuk penanganan keadaan darurat," ungkap pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, kepada Republika, Jumat (16/7).
Fahmi menilai, salah satu variabel yang dinilai ikut memperparah situasi pandemi ini ialah masih belum optimalnya pelaksanaan vaksinasi. Lalu, satu hal lain lagi ialah adanya keterbatasan kapasitas dan kapabilitas perangkat pemerintah dalam penanganan pandemi, terutama di daerah. Maka itu pemerintah melibatkan aparat TNI-Polri hingga ke tingkat daerah.
"Saya kira dari sisi ini tak ada masalah. TNI dan Polri memiliki instrumen yang bisa menjangkau warga hingga di lingkungan terkecil yaitu RT/RW," kata dia.
Namun, dia mengungkapkan, yang menjadi masalah ialah pada pelaksanaannya di lapangan tidak didukung oleh standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan memadai. Dia melihat, di sejumlah daerah vaksinasi massal yang digelar ternyata cenderung seremonial dan menimbulkan kerumunan. Hal itu justru sangat rentan penularan Covid-19.
Di sisi lain, kata Fahmi, pelaksanaan vaksinasi itu pun ternyata masih melibatkan perangkat pelayanan kesehatan di daerah. Menurut dia, dengan demikian tujuan pelibatan aparat agar perangkat pelayanan kesehatan bisa lebih fokus menangani yang sakit dan yang meninggal, akhirnya tidak tercapai. Dia menilai hal itu menjadi tidak efektif, tidak efisien.
Atas dasar itu, dia berharap pelibatan itu dibenahi agar kehadiran TNI dalam penanganan pandemi ini menjadi lebih bermakna. Sehingga, TNI yang terlibat dalam vaksinasi massal maupun membantu pendistribusian obat-obatan dari pemerintah tidak terkesan hanya ikut "manggung".
"Agar lebih bermakna seperti yang kita lihat pada kegiatan evakuasi, perawatan darurat, dan distribusi logistik maupun penegakan disiplin prokes. Bukan sekadar untuk menghadirkan kepatuhan instan, sekadar ikut manggung," kata dia.
Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, mengaku, tak bisa berkata-kata ketika militer menjadi pengendali utama Covid-19. "Pada beberapa kejadian wabah memang militer terlibat, tapi pada porsinya. Jadi peran militer saat vaksinasi dan PPKM Darurat itu berlebihan," ujarnya saat dihubungi Republika.
Seharusnya, dia melanjutkan, garis komando yang utama adalah Presiden. Ia menegaskan, kepala negara tidak bisa lepas tangan atau menyerahkan pada satu orang yang posisinya setara menjadi komandan.
"Bagaimana caranya beliau lepas tangan, kan tidak bisa gitu. Eksekusi penanganan Covid-19 ini yang seharusnya dipimpin Presiden Joko Widodo, bukan militer," katanya.
Peran pihak TNI, sarannya terkait pengamanan hal-hal vital saja. Misalnya upaya mengendalikan jalur distribusi logistik vital misalnya obat, oksigen. Tak hanya itu, ia mengakui militer memiliki Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam UU Pertahanan Negara. Tetapi posisi mereka mestinya bukan pengendali utama.
Militer juga memiliki peran di bidang kesehatan, tetapi sebatas untuk melayani para tentara korban perang atau dalam kondisi wabah membantu pelayanan kesehatan atas permintaan otoritas. Artinya, katanya, bukan mengambil garis komando. "Artinya militer tidak memiliki basis kesehatan," katanya.