REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) semester II-2020 menunjukkan adanya permasalahan pengelolaan belanja proyek infrastruktur teknologi. Temuan ini seolah mengamini pernyataan berbagai pihak dalam beberapa tahun terahir.
Sejumlah pakar telah menyoroti pemborosan anggaran yang dilakukan di internal Kemenkominfo, khususnya Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI). Dengan menggunakan momentum transformasi digital yang dicanangkan Presiden, Kemenkominfo melalui BAKTI melakukan pembelanjaan berbagai infrastruktur dengan nilai triliunan rupiah. Temuan potensi kerugian negara sebesar Rp 126,477 miliar bisa jadi adalah puncak gunung es dari berbagai proyek di Kemenkominfo dan BAKTI yang jika ditotalkan dapat bernilai di atas puluhan triliun rupiah.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai, aparat penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan seharusnya dapat segera menindaklanjuti Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 2 Tahun 2020 yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kejanggalan proyek di Kemenkominfo dan BAKTI. Menurut Uchok, kemahalan atau pemborosan itu merupakan bukti telah terjadi mark-up anggaran.
“Laporan BPK ini kan membenarkan apa yang saya sampaikan setahun yang lalu. Proyek di Kominfo khususnya BAKTI memang bermasalah. Palapa Ring dan Satria itu kan boros anggaran, perencanaan tidak jelas, utilisasi rendah, dan over capacity. Permasalahannya kan selama ini terjadi pembiaran,” kata Uchok di Jakarta, Jumat (16/7).
Uchok mendorong adanya tindakan tegas untuk mencegah semakin berlarutnya permasalahan ini. Menurut Uchok, laporan BPK itu sudah valid. Sehingga aparat penegak hukum seperti KPK, Kepolisian atau Kejaksaan harus segera melakukan penyelidikan dugaan mark-up anggaran di Kemenkominfo.
"Saya mendesak kepada KPK, Kepolisian atau Kejaksaan dapat segera memanggil Kemenkominfo dan BAKTI serta memeriksa temuan BPK ini. Saya juga meminta semua proyek Kominfo yang dinilai bermasalah oleh BPK dihentikan seluruhnya dan dilakukan audit investigasi,” ucap Uchok.
Meski laporan keuangan Kemenkominfo mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), namun menurut Uchok, bukan berarti kita bisa menafikan penggelembungan berbagai proyek di Kemenkominfo dan BAKTI. BPK dapat memberikan predikat WTP itu disebabkan Kemenkominfo mampu mengelola aset yang dimilikinya. Meski mendapatkan predikat WTP, Uchok tetap mendesak kepada penegak hukum untuk segera melakukan penyelidikan terhadap potensi penggelembungan di proyek-proyek Kemenkominfo dan BAKTI.
Dalam laporan pengelolaan belanja pemerintah pusat, BPK menemukan lebih dari Rp126,477 miliar anggaran proyek yang dilaksanakan Kemenkominfo bermasalah. Permasalahan yang disorot BPK mencakup sistem pengendalian intern (SPI) serta ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan 3E (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas).
Selain itu BPK juga menemukan dua permasalahan lemahnya sistim pengawasan internal (SPI) di Kemenkominfo. Pertama, pelaksanaan pekerjaan Proyek Palapa Ring Timur mengalami keterlambatan dan justifikasi amandemen perpanjangan tanggal wajib operasional komersial tidak sesuai dengan klausul kontrak. Kedua, nilai availability payment dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Proyek Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Palapa Ring Tengah tidak memperhitungkan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan 3E, BPK menemukan lima permasalahan pada aspek pemborosan/kemahalan harga yang dirumuskan menjadi tiga permasalahan utama. Pertama, terjadi pemborosan karena penyediaan kapasitas satelit belum digunakan sebesar Rp 98,20 miliar. Kedua, pemesanan layanan cloud dengan spesifikasi dan kapasitas yang melebihi kebutuhan sebesar Rp 5,39 miliar. "Ketiga, permasalahan pemborosan lainnya sebesar Rp 2,26 miliar."
Meski penuh dengan temuan, Kemenkominfo masih melanjutkan rencana pembangunan Pusat Data Nasional di empat lokasi. Pembangunannya sendiri membutuhkan dana Rp 5,9 triliun yang berasal dari pinjaman luar negeri. Ironisnya, dari kapasitas layanan cloud yang disewa sebesar Rp 5,39 miliar untuk penyimpanan data, Kemenkominfo sendiri belum bisa memanfaatkannya. "Wajar jika timbul pertanyaan, untuk apa lagi Kemenkominfo membangun Pusat Data Nasional," kata dia.
Sebelumnya pengamat telekomunikasi Nonot Harsono, dalam acara diskusi publik terkait Tol Langit di Jakarta beberapa waktu yang lalu mengatakan, peran BAKTI saat ini sudah melenceng dari tugas utamanya untuk mengharmoniskan peran operator dan mengkoordinirnya. Ia berkata, BAKTI saat ini justru dianggap sibuk sendiri dengan kegiatannya layaknya operator komersial melalui proyek Palapa Ring dan pembangunan Satelit Republik Indonesia (Satria).
Saat itu Nonot mendesak agar sebaiknya Kemenkominfo kmaupun BAKTI perlu melakukan evaluasi terhadap proyek Satria. Menurutnya saat ini yang lebih penting adalah meningkatkan utilisasi Palapa Ring dari pada memikirkan mengorbitkan satelit telekomunikasi Satria.
"Proyek Satria sangat perlu dievaluasi, ditahan dulu. Jangan menuruti gengsi, lihat dari sisi utilisasi dan rencana pemakaiannya," kata Nonot.
Menurut Nonot, tugas utama BAKTI sebenarnya mengharmoniskan peran dari operator-operator dan mengkoordinir pembangunan layanan telekomunikasi di daerah 3T. Tidak boleh asyik dengan kegiatannya sendiri seperti Palapa Ring dan satelit. "Jangan sampai akses internet dari Satria nantinya malah tidak digunakan untuk keperluan pemerintah, malah buat nonton YouTube," ucap Nonot.