Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hana Nusaibah Binti Adnan

Memahami Akad Sewa Menyewa dalam Ekonomi Islam

Agama | Sunday, 18 Jul 2021, 13:10 WIB

Penulis: Fina Aulia, Hana Nusaibah, Ivan Aditya

Penerapan ekonomi Islam sebenarnya telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW kegiatannya berupa menerima titipan harta, meminjam uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, yang dilakukan sesuai dengan akad-akad yang sesuai syariah. Untuk menerapkan sistem ekonomi Islam di Indonesia, didirikannya perbankan syariah dan menerapkan akad dalam produknya yang sesuai dengan syariah. Salah satunya yaitu akad sewa menyewa atau dalam fiqh islam disebut Ijarah.

Apa sih akad ijarah itu? Apa saja yang menjadi dasar hukumnya serta faktor-faktor yang menyebabkan ijarah berakhir? Mari kita bahas satu per satu.

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunah, al ijarah berasal dari kata al-ajru (upah) yang berarti al-iwadh (ganti/kompensasi). Sedangkan menurut syara’ ijarah berarti suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pengganti. Kemudian menurut Fatwa Dewan Syariah Nasioanl No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak huna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Setelah kita membahas sedikit terkait pengertian akad ijarah, selanjutnya kita akan membahas terkait apa saja yang menjadi dasar hukum akad ijarah. Nah, Akad Ijarah atau akad sewa menyewa ini disyariatkan berdasarkan Al-quran, al-Sunnah, dan al-Ijma.

· Firman Allah dalam QS al-Thalaq ayat 65, “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (isterei-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah memberi upah bagi para ibu yang telah diceraikan suaminya, kemudian menyusui anak dari hasil perkawinan sebelumnya. Tradisi bangsa arab pada zaman dahulu adalah menyusukan anaknya kepada orang lain, dari sini muncul istilah saudara satu susuan atau ibu susu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang disusukan kepada Halimah al-sa’diyah.

· Rasulullah SAW dalam hadist yang berasal dari Abu hurairah bersabda :

Yang artinya “Dari Abi Hurairah ra, dari Rasulullah SAW bersabda : Allah SWT berfirman : Tiga golongan manusia yang menjadi musuhku dihari kiamat nanti, yaitu seseorang yang memberi kemudia ia menghianatinya dan seseorang yang menjual sesuatu tetapi ia memakan harganya dan seseorang yang menyewa seseorang untuk dipekerjakan, ia memanfaatkannya tetapi belum membayar upahnya.”

Hadist diatas menjelaskan betapa Rasulullah menghargai seseorang yang telah memberikan tenaganya untuk dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga beliau mengencam orang yang memanfaatkan tenaga pekerja dan tidak memberikannya upah, dengan ancaman menjadi salah satu musuh Rasulullah SAW di hari akhir kelak.

· Bila melihat sejarah, ternyata sejak zaman sahabat ijma muslimin telah membolehkan praktik ijarah. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan manfaat sama pentingnya dengan kebutuhan akan suatu barang.

Setelah hukum dasar akad ijarah, adapun rukun yang akan menyertai akad tersebut agar sebuah akad menjadi sah dan tidak rusak. Apa saja rukun tersebut? Terkait dengan akad ijarah ini jumhur Ulama sepakat bahwa akad ijarah memiliki rukun, diantaranya :

1. Muta’aqidain

2. Shighah (Ijab-Qabul)

3. Upah (bayaran terhadap barang)

4. Manfaat

Selain hukum dasar dan rukun yang harus dipenuhi, adapun syarat-syarat yang tak boleh untuk dilepas.Secara umum, syarat dalam akad ijarah sama halnya dalam jual beli yaitu ada 4 syarat :

1. Wujud (Al-in’iqad)

2. Berlaku/Eksekusi (Nafadz)

3. Validitas (Shahihah)

4. Pengikat (Luzum)

Lalu, dari segi objeknya, akad ijarah atau sewa menyewa ini dibagi para ulama fiqih kepada dua macam jenis ijarah. Yaitu :

1. Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa.

2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.

Nah, masuklah kita di akhir pembahas, Apa saja yang menjadi dasar hukumnya serta faktor-faktor yang menyebabkan ijarah berakhir?

Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakkhir apabila:

1. Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.

2. Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.

3. Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.

· Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak.Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan.Menurut mereka ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal.Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan.Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan.Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image