REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jaya Suprana, Budayawan, Penggagas Rekor MURI, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
Sungguh suatu hadiah fakta sangat membanggakan bagi saya sebagai warga Indonesia bahwa seorang pemuda Indonesia, ilmuwan bioteknologi alumnus ITB, DR. Indra Rudiansyah tergabung di dalam tim pengembangan vaksin Astra Zeneca di bawah pimpinan Prof. Sarah Gilbert di Universitas Oxford, Inggris.
ISTIMEWA
Banyak pihak mengembangkan vaksin Corona namun Prof. Sarah Gilbert menjadi istimewa karena menolak hak paten atas mahakarya vaksin Astra Zeneca. Atas kemulian pribadi dan hatinya, maka dia mendapat sambutan meriah melalui standing ovation pada upacara pembukaan laga tenis Wimbledon.
Peristiwa tepuk tangan membahana di 'Wambley Stadium' memang sangat isntimea. Apalagi itu dipersembahkan bukan kepada tokoh olahraga tenis, tetapi penemu vaksin Astra Zeneca.
Semua itu jelas merupakan bukti tak terbantahkan bahwa masyarakat global sangat menghormati dan menghargai bukan terbatas hanya sebagai mahakarya sains namun juga sebagai mahakarya kemanusiaan .
Penghargaan serta penghormatan tersebut memang layak dianugerahkan kepada Prof Sarah Gilbert yang telah ikhlas melepaskan hak paten terhadap vaksin Astra Zeneca demi menyelamatkan tak terhitung nyawa para korban virus Corona.
Dia ikhlas melepaskan hak paten terhadap vaksin yang sedang amat sangat terlalu dibutuhkan oleh umat manusia di planet bumi jelas merupakan sesuatu yang langka.
Apalagi pada masa semangat bisnis industri farmasi sedang menggelora selatas dengan sukma kapitalisme dan inviduisme yang lebih mengutamakan profit bagi segelintir manusia ketimbang benefit bagi seluruh umat manusia.
Maka di situlah posisi Sarah Gilbert yang luar biasa!
NOBEL
Saya teringat fakta sejarah pada tahun 1991 kala Aung San Syu Ki memperoleh anugerah Nobel untuk Perdamaian.
Maka, menarik menyandingkan sosok Aung San Syu Ki dengan Sarah Gilbert dalam keterkaitan dengan universitas Oxford. Aung San Syu Ki memperoleh anugrah Nobel berkat dukungan perjuangan suaminya yang profesor universitas Oxford. Dialah yang menominasikan istrinya ke Dewan Penilai Nobel.
Jadi, bukan sesuatu yang mustahil apabila para profesor dan mahasiswa universitas Oxford bersatupadu dalam berjuang agar Sarah Gilbert yang kebetulan profesor virologi di universitas Oxford untuk memperoleh anugerah Nobel .
JASA
Dalam hal jasa mungkin Aung San Syu Ki memang berjasa untuk masyarakat Myanmar dalam menghadapi junta Militer di Myanmar.
Namun hal itu berbeda dengan Sarah Gilbert. Dia bukan hanya berjasa bagi masyarakat Inggris tetapi bagi umat manusia di seluruh pelosok dunia dalam menghadapi virus Cirona.
Sementara jasa Aung San Syu Ki bersifat politis maka Sarah Gilbert bersifat kemanusiaan.
Insya Allah, para anggota dewan Nobel berkenan menganugerahkan Nobel untuk perdamaian kepada Sarah Gilbert. Dan, layak diyakini pula bahwa anugerah Nobel bagi Sarah Gilbert akan memperoleh dukungan masyarakat dunia. Ini tidak kalah bahkan lebih banyak ketimbang kala dahulu memberi dukungan hadiah nobel untuk Aung San Syu Ki.
Sekali lagi, Insya Allah, universitas Oxford berkenan memrakarsai gerakan menghimpun tanda tangan digital sebagai petisi global mendukung Prof Sarah Gilbert menerima anugerah Nobel untuk Perdamaian.
Saya pun siap ikut menerakan tandatangan agar Prof Sarah Gilbert memperoleh anugrah Nobel !