Rabu 21 Jul 2021 08:29 WIB

PPKM Darurat, Okupansi Hotel di Jakarta Hanya 10 Persen

Tingkat hunian (okupansi) sebesar 10 persen ini terutama di hotel non-bintang.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta mencatat tingkat hunian (okupansi) kamar hotel hanya 10 persen selama dua pekan penerapan PPKM Darurat. (Foto ilustrasi: Hotel)
Foto: ANTARA/Novrian Arbi
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta mencatat tingkat hunian (okupansi) kamar hotel hanya 10 persen selama dua pekan penerapan PPKM Darurat. (Foto ilustrasi: Hotel)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta mencatat tingkat hunian (okupansi) kamar hotel hanya 10 persen selama dua pekan penerapan PPKM Darurat. Penurunan okupansi ini terutama di hotel-hotel kecil.

"Penurunannya jauh dari 25-40 persen, sekarang tinggal 10 persen okupansi terutama di hotel-hotel non-bintang dan hotel-hotel kecil," kata Ketua PHRI Jakarta Sutrisno Iwantono di Jakarta, Selasa (20/7).

Baca Juga

Dari sekitar 950 hotel di wilayah Jakarta, hanya 20 hotel yang terlibat dalam program hunian untuk tenaga kesehatan dan tempat isolasi mandiri (isoman) untuk orang tanpa gejala (OTG). Hotel yang masih bertahan di angka tinggi karena karena ikut program penginapan untuk nakes dan ikut program isoman bagi OTG. 

"Mereka mungkin tetap mendapatkan tamu, tetapi sebagian besar hotel di Jakarta tidak ikut program itu," ujar Sutrisno.

Dia menyampaikan, sektor perhotelan diproyeksikan mengalami pemulihan pada 2023. Selama masa transisi dua tahun itu pelaku bisnis perhotelan dituntut berinovasi dengan berbagai kondisi dan teknologi.

Langkah jangka pendek, PHRI mengharapkan adanya "cost reduction" atau efisien mengingat belum ada permintaan(demand) dari calon tamu hotel. Pemerintah diminta memberikan berbagai kelonggaran untuk sektor perhotelan.

Sedangkan untuk jangka panjang industri perhotelan perlu beradaptasi dengan intelijensi artifisial, menyiapkan paket-paket "staycation" keluarga, hingga mengedepankan aspek kesehatan sebagai nilai jual. 

Sutrisno menjelaskan, kebijakan PPKM Darurat yang membatasi aktivitas masyarakat telah menyebabkan penurunan tingkat okupansi hunian kamar hotel. Apabila kebijakan PPKM Darurat itu diperpanjang akan mengakibatkan bisnis perhotelan dan restoran di Jakarta semakin lesu. Kendati demikian, PHRI menyatakan tetap mendukung kebijakan pembatasan itu untuk menghentikan pandemi COVID-19. 

Ekonom senior Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, kebijakan memperpanjang PPKM Darurat dapat mengganggu aktivitas perekonomian nasional. Dia menyebutkan, beberapa pos ekonomi selain industri akan mengalami dampak dari kebijakan tersebut, seperti jasa makanan minuman dan akomodasi.

Potensi pemutusan hubungan kerja atau PHK pada jenis-jenis pekerjaan itu kemungkinan akan terjadi apabila pemerintah memperpanjang kebijakan PPKM. Guna menekan laju PHK, pemerintah dan pelaku usaha maupun industri perlu "burden sharing" beban yang ditanggung. Misalnya beban ongkos listrik atau air.

Ongkos lain yang bisa berbagi beban, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Selama periode waktu PPKM dan satu hingga dua bulan setelahnya satu atau dua bulan, pemerintah dapat memberikan subsidi listrik atau insentif PBB.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali telah berlaku sejak 3 Juli hingga 20 Juli 2021. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan memperpanjang pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga 25 Juli mendatang. 

Jokowi mengatakan jika kasus Covid-19 terus mengalami tren penurunan selama perpanjangan PPKM darurat maka pemerintah akan membuka sektor ekonomi masyarakat secara bertahap mulai 26 Juli 2021. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement