REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah klausul dalam aturan dan rancangan aturan energi baru terbarukan (EBT) dinilai tidak adil bagi masyarakat dan PLN. Pemerintah perlu memastikan setiap investor kelistrikan ikut menanggung risiko usaha dan jangan ditimpakan ke negara melalui PLN saja.
Direktur Eksekutif Indonesias Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, fenomena menimpakan risiko usaha kelistrikan pada negara tercermin dari kebijakan take or pay (ToP). Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (IPP) sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai.
"Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian padahal bisnis kan ada untung ada rugi," kata dia, Rabu (21/7).
Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. Karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.
"Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan itu bisa listrik bisa mahal, kalau pun PLN tidak bangkrut maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif," ujar Marwan.
Sayangnya, mekanisme itu sudah berlaku dalam penyediaan listrik oleh PLTU dari IPP. Dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) yang tengah dibahas di DPR, mekanisme sejenis akan diterapkan. Dalam RUU itu ditetapkan, PLN wajib membeli berapa pun daya yang disediakan IPP EBT swasta. Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak.
Marwan mengingatkan, sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP terasa paling tidak sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Saat ini cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30 persen.
Menurut Marwan, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah harga listrik yang dihasilkan EBT masih cukup tinggi dibandingkan listrik yang dihasilkan batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat.
Terkait EBT, hal lain yang disoroti Marwan adalah upaya mengubah klausul di Peraturan Menteri ESDM nomor 49 tahun 2018 khususnya terkait biaya ekspor energi PLTS IPP mikro ke PLN. Dalam permen itu ditetapkan, nilai transaksi ekspor 1:0,65 di mana 1 untuk harga listrik PLN dan 0,65 untuk komponen biaya PLTS IPP mikro. Sejumlah pihak, dengan alasan mendorong percepatan pengembalian investasi, meminta ketentuan diubah menjadi 1:1.
"Kalau seperti itu (porsi 1:1) jadinya orang tidak punya PLTS menyubsidi orang yang punya PLTS. Tidak adil. Kalau membangun energi bersih, jangan dipakai untuk mencari keuntungan. Apakah gardu listrik, (jaringan) transmisi PLN tidak dihargai? Masa (aset) PLN hanya numpang lewat saja," kata dia.
Ia mengingatkan, upaya mengubah klausul dalam Permen ESDM 49/2018 hanyalah demi kepentingan bisnis. Upaya itu tidak didorong keinginan pelestarian lingkungan. Upaya itu juga bisa menekan usaha memeratakan penyediaaan kelistrikan.