Rabu 21 Jul 2021 21:48 WIB

Kredibilitas Sertifikasi Hutan Lestari Harus Diperkuat

Kalau tidak punya sertifikatnya berakibat kesulitan masuk pasar ekspor.

Red: Hiru Muhammad
Kabupaten Sintang adalah salah satu contoh dimana pengelolaan potensi hutan dikembangkan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Foto: ist
Kabupaten Sintang adalah salah satu contoh dimana pengelolaan potensi hutan dikembangkan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Industri kehutanan membutuhkan sertifikasi hutan lestari yang memiliki kredibilitas kuat. Pasalnya, sertifikasi merupakan instrumen untuk membuka akses ke pasar internasional. Untuk itu, organisasi sertifikasi hutan lestari diharapkan tidak mudah ditekan beragam isu lingkungan. 

Dr Petrus Gunarso, Pengamat Kehutanan menjelaskan lembaga sertifikasi kayu seperti FSC ataupun PEFC memang dibentuk untuk memenuhi tuntutan pembeli di luar negeri. Masing-masing membuat standar dan skema sertifikasi yang berbeda-beda. Di dalam negeri juga ada sertifikasi serupa seperti Lembaga Ekolabel Indonesia dan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu).

Di pasar internasional, dikatakan Petrus Gunarso, perusahaaan kayu dari negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memenuhi standar negara pembeli seperti Eropa. Itu sebabnya, berdirilah lembaga seperti FSC yang menerbitkan logo dagang produk kayu. 

“Masalahnya adalah pelaku bisnis di negara berkembang. Malahan dibuat ruwet karena harus memenuhi  kriteria sustainability yang berbeda di antara lembaga sertifikasi kayu. Jadi, belum  ada  kriteria yang dibuat untuk standar internasional misalkan melalui ISO,” kata Petrus dalam keterangan tertulisnya Rabu (21/7).