REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Maarif Institute beker jasama dengan P3M, menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Kapasitas Think Tank, dengan tema; “Advokasi Kebijakan Untuk Penguatan Toleransi Dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan”.
Kegiatan yang dilakukan melalui webinar ini dilaksanakan selama dua hari pada 12–13 Juli 2021 dengan menghadirkan sejumlah narasumber. Mereka antara lain Halili Hasan (direktur Riset Setara Institute), Debby Afianty (Universitas Muhammadiyah Jakarta), Yulianti Mutmainnah (ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD), dan Zuly Qadir (dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Acara ini dimoderatori oleh Pipit Aidul Fitriyana dari Maarif Institute.
Abd Rohim Ghazali, direktur Eksekutif Maarif Institute mengatakan, pelatihan advokasi ini sangat bermanfaat bagi para peserta. Hal itu mengingat advokasi menyangkut perubahan yang mengubah beberapa kebijakan, regulasi, dan cara badan-badan perwakilan melakukan kebijakan.
Dalam melakukan perubahan kebijakan pun tidak semudah yang kita bayangkan. “Kita mengubah pola pikir dan memberdayakan masyarakat marjinal untuk berinisiatif melakukan perjuangan hak-haknya secara mandiri. Advokasi dikatakan berhasil apabila kita mampu membuat komunitas kita lebih berdaya dan mampu meneriakkan aspirasinya sendiri,” jelas Rohim seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (21/7).
Halili, narasumber dari Setara Institute mengatakan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memetakan dan mengawal jalannya sebuah kebijakan sebelum disahkan menjadi hukum formal. “Yakni, mengerti dan memahami isi dari kebijakan beserta konteksnya, yaitu dengan memeriksa kebijakan apa saja tujuan dari lahirnya kebijakan tersebut; siapa yang akan dipengaruhi baik itu sifatnya merugikan ataupun menguntungkan; siapa aktor-aktor utama, siapa yang mendorong dan apa kepentingan serta posisi mereka; dan melakukan kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang publikasi,” paparnya.
Yulli Muthmainnah, dari ITB AD, menyoroti isu perempuan dalam kerja advokasi. Menurutnya, fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol dalam pemberitaan media massa. “Kebijakan advokasi terhadap perempuan dan anak berbasis perlindungan korban kekerasan diwujudkan pemerintah melalui perumusan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga”, jelasnya.
Sementara Zuly Qodir menambahkan, proses advokasi ini juga penting dalam mengkomunikasikan hasil kajian dan isu-isu penting, seperti Islam damai, toleransi, kemerdekaan beragama, intoleransi, radikalisme, ekstremisme kekerasan. Usaha-usaha advokasi ini ditujukan agar kebijakan-kebijakan yang diputuskan betul-betul membawa kemaslahatan bagi seluruh bangsa.
“Maka, dengan mempertimbangkan kader-kader NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar yang menjadi gawang moderatisme Islam, keduanya diharapkan dapat memainkan peran yang sangat penting untuk memengaruhi pembuat/perumus kebijakan,” ujarnya.
Pelatihan ini akan dilakukan secara berseri dan online, dan akan diikuti oleh 50 orang peserta dari organisasi Muhammadiyah di lima kota (Bandung, Bogor, Malang, Makassar dan Surakarta). Mereka terdiri terdiri dari: Pengurus Daerah Muhammadiyah, Pengurus Daerah Aisyiyah, Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah, Pengurus Daerah Nasyiatul Aisyiyah, Majlis Tarjih PD Muhammadiyah, Majlis Tabligh PD Muhammadiyah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PD Muhammadiyah, dan Lembaga Bantuan Hukum PD Aisyiyah.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook