REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Masyarakat diajak untuk beralih penuh menggunakan bahan bakar minyak RON tinggi, seperti Pertamax Series. Tak hanya membuat kendaraan mondar-mandir ke bengkel, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan Research Octane Number (RON) rendah bisa meningkatkan risiko kerusakan mesin yang fatal.
Menurut pengamat otomotif Anton Fiat menggunakan RON rendah juga akan membuat kendaraan lebih terdengar kasar sehingga bisa menyebabkan menurunkan performa atau unjuk kerja kendaraan bila konsusmsi BBM RON rendah. "Secara otomatis itu akan mempengaruhi kepada kualitas udara. Udara pun akan menjadi kotor secara tak kasat mata," kata Anton Fiat, Rabu (21/7).
Ia mengatakan, semakin tinggi kandungan oktannya, maka semakin baik kualitas BBM dan performa yang akan dihasilkan oleh mesin. Produk-produk Pertamax Series mampu meningkatkan akselerasi atau kecepatan kendaraan, membuat mesin lebih responsif, serta mampu melindungi mesin lebih awet dan tahan lama karena pembakaran yang lebih efesien dan bebas karat.
Selain itu, produk Pertamax Series merupakan produk yang ramah lingkungan karena kandungan sulfur yang rendah sehingga buangan gas emisi dengan karbon lebih sedikit.
Untuk kandungan sulfur Pertamax maksimal 500 ppm, sementara kandungan sulfur Pertamax Turbo tidak lebih dari 50 ppm dengan kata lain setara Euro IV.
Karena, lanjut Anton BBM RON rendah memperburuk emisi gas buang kendaraan bermotor, sehingga pembuangannya membuat kualitas udara lebih buruk. "Udah gitu, membuat mesin mengelitik (knocking), bahkan terburuk, berpotensi membuat ruang bakar berlubang," kata dia.
Pengendara menurut dia juga harus cermat dalam memilih BBM dengan kualitas bagus seperti penggunaan BBM dengan RON kualitas baik. "Karena dengan kualitas baik, secara otomatis mesin kendaraan mencerna dengan baik," kata pemilik bengkel Abadi Motor itu.
Sementara, menurut pakar kendaraan mesin bakar Iman Kartolaksono Reksowardojo, penggendara harus diberikan edukasi pengguanaan BBM dengan RON kualitas baik. "Karena dalam kasus ekstrim bisa merusak mesin, membuat piston berlubang, serta menurunkan efisiensi dan menaikkan emisi gas buang," kata dia ketika dihubungi.
Kebanyakan kasus, kata Iman, BBM RON rendah memang menjadi penyebab knocking. Secara termodinamika, knocking terjadi karena BBM RON rendah tidak tahan terhadap tekanan atau temperatur tinggi, sehingga BBM bisa terbakar sebelum waktunya untuk dinyalakan api dari busi.
Pemakaian BBM RON rendah juga, lanjut Iman, juga terjadi meski kendaraan dilengkapi dengan articial intelligence (AI). Meski pemrograman AI akan membuat mesin lebih fleksibel terhadap kualitas BBM yang dikonsumsi, namun pada dasarnya BBM RON rendah merugikan, terutama dalam jangka panjang.
"Tetapi tetap saja ada batasnya. Dan konsuensinya terhadap kinerja yang menurun, efisensi menurun, dan emisi memburuk," kata Iman yang juga anggota Komite Teknis Bahan Bakar Fosil dan Nabati itu.
Ketua Ikatan Ahli Bahan Bakar Indonesia itu menilai positif kecenderungan meningkatnya konsumsi BBM berkualitas yang dibarengi dengan penurunan konsumsi BBM RON rendah. "Dan ke depan tentu saja kecenderungan tersebut harus terus ditingkatkan. Sangat menggembirakan. Karena kualitas BBM memang harus meningkat," ucap Imam.
Peningkatan konsumsi BBM berkualitas belakangan ini cenderung meningkat. Konsumsi Pertamax series dan Dex series berada di atas angka 11 persen. Dan di sisi lain, penggunaan BBM dengan oktan paling rendah berada di bawah 10 persen.
Itu artinya, kata Imam, kesadaran masyarakat sudah terbangun, karena BBM berkualitas tersebut, menurutnya tahan terhadap temperatur dan tekanan tinggi, untuk tidak menyala dengan sendirinya. "Dengan demikian, pembakaran yang terjadi pada BBM oktan tinggi, hanya berasal dari api busi. Bukan karena temperatur dan tekanan yang tinggi yang berasal bukan dari busi," ujarnya.
Untuk itu, Imam mengingatkan pentingnya menggunakan BBM dengan angka oktan tinggi, tidak hanya bagi kendaraan roda empat, namun juga sepeda motor. Karena spesifikasi mesin kendaraan keluaran terbaru memang dirancang untuk BBM dengan RON yang tinggi.
"Kalau mesinnya dirancang untuk oktan tinggi maka harus mempergunakan BBM dengan angka oktan tinggi. Jika tidak, maka akan terjadi off-design operation atau operasi mesin di luar perancangan," kata dia menjelaskan.
Kualitas udara Jakarta kembali terpantau memburuk. Hal itu berdasarkan data IQAir.com pada 19 Juli 2021 pukul 04.00 WIB di mana indeks kualitas udara Jakarta tercatat mencapai 162 dalam kategori tidak sehat dan menempati uratan pertama sebagai udara terburuk dunia. Sementara konsentrasi polusi PM 2.5 tercatat mencapai 76,2 µg/m³.
Buruknya kualitas udara Jakarta ini juga dinilai bisa menimbulkan kesehatan mental. Buktinya, Vaay –perusahaan produsen produk suplemen kesehatan dan CBD yang berbasis di Berlin– memasukkan Jakarta dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia pada 2021. Berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index 2021, Jakarta berada di posisi sembilan dengan skor akhir 41,8 dari skala 0-100 poin. Semakin rendah skornya, maka tingkat stres di kota tersebut kian tinggi.