Jumat 23 Jul 2021 21:26 WIB

Sri Mulyani Ungkap Tiga Risiko Ekonomi Mendatang

Sri Mulyani menyatakan akses vaksinasi dan kemampuan stimulus penyebab utama

Rep: Novita Intan / Red: Nashih Nashrullah
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan akses vaksinasi dan kemampuan stimulus penyebab utama risiko ekonomi mendatang
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan akses vaksinasi dan kemampuan stimulus penyebab utama risiko ekonomi mendatang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pemerintah menyebut ada tiga risiko ekonomi yang dihadapi pada masa mendatang. Hal ini menyusul kehadiran varian Covid-19, Delta.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan akses vaksinasi dan kemampuan stimulus setiap negara yang berbeda menjadi penyebab utamanya. Adapun risiko pertama yang harus dihadapi, kehadiran varian Delta. 

Baca Juga

Dia menjelaskan, munculnya varian delta di India, April dan Mei, mereka alami kondisi meningkat dan dampak luar biasa bagi ekonomi dan masyarakat. Sekarang varian Delta sudah menyebar di 130 negara. 

“Kenaikan jumlah Covid-19 yang drastis seperti di Indonesia, sama seperti di Amerika Serikat dan di Inggris dan negara yang kecil seperti Malaysia, Israel, Singapura, Thailand, dan Vietnam yang efektif jaga penularan Covid juga alami kenaikan," ujarnya saat konferensi pers virtual seperti dikutip Jumat (23/7).

Risiko kedua, kata Sri Mulyani, vaksinasi yang tidak merata antarnegara maupun satu negara. Adapun kondisi ini bisa membuat varian Delta bisa terus menyebar dengan cepat. 

Menurut dia, kalau yang memiliki vaksin itu belum tentu warganya mau divaksin, juga terjadi di berbagai negara lainnya. Untuk yang belum memiliki vaksin akses jadi persoalan besar seperti Afrika dan Asia. 

“Akses vaksinasi dan penetrasi vaksinasi sebabkan risiko karena Covid selama belum bisa dikelola ditangani dia juga akan penularan dan bermutasi jadi jenis yang berubah seperti varian delta yang sangat mudah menular," ucapnya. 

Risiko terakhir, kenaikan inflasi Amerika Serikat yang telah terjadi dalam dua bulan berturut-turut hingga di atas lima persen. Angka ini jauh dari target yang dipatok dua persen, sehingga kondisi ini bisa memukul daya beli masyarakat terutama kelas menengah bawah dan mengancam pemulihan global.  

"Ketiga menimbulkan proyeksi kapan Fed merespon kenaikan inflasi tersebut dengan kenaikan suku bunga atau tapering terhadap kebijakan yaitu mengurangi pembelian aset dan surat berharga pada perekonomian," ucapnya.   

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement