MUI: Makna Kurban Korbankan Ego untuk Kepentingan Bersama
Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi kurban, Idul Adha | Foto: Republika /mgrol101
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Akhir-akhir ini banyak orang justru menggunakan terminologi agama justru cenderung untuk melawan maqasidh syariah atau tujuan-tujuan beragama. Misalnya tujuan beragama maqashid syariah di antaranya adalah maqashid hifzh an-nafs atau menjaga jiwa. Tetapi karena egoisme, hal tersebut justru dilalaikan.
Wakil Sekretaris Komisi Dakwah Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Khariri Makmun, mengatakan bahwa ketika Allah SWT memerintahkan Nabiullah Ibrahim AS untuk berkurban, sebenarnya kurban yang dilaksanakan pada hakekatnya bukan mengorbankan Nabi Ismail AS. Ismail hanya sebagai fasilitas sebagai ujian untuk menguji keteguhan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah SWT.
”Yang paling penting dari makna kurban itu adalah bagaimana kita mengorbankan ego. Bagaimana bisa menahan egoisme kita, sifat-sifat buruk dari diri yang bisa mencelakakan orang lain,” ujar KH Khariri Makmun di Bogor, Kamis (22/7).
Ia menyebutkan berkurban egoisme atau menanggalkan egosime sebetulnya adalah bagian makna dari Idul Adha atau Idul Qurban itu sendiri. Seperti menyelamatkan jiwa orang lain.
”Misalnya dalam masa pandemi ini ada yang positif Covid-19, tapi dia tetap beraktivitas di luar sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG). Itu kan bisa menularkan kepada orang lain yang rentan atau imunitasnya lemah. Itu juga bagian dari sifat-sifat egoisme yang akan berakibat membahayakan orang lain,” tutur Khariri.
Lebih lanjut, Khariri mengatakan bahwa di dalam hadist nabi juga dinyatakan, kalau sudah keluar menuju ke ruang publik, maka seseorang akan terkena aturan-aturan publik. Nabi menegaskan ‘la dharara wala dhirara‘ yang artinya ‘jangan membahayakan diri dan orang lain’. Ini menjadi pesan penting ketika di masa pandemi sekarang ini.
”Kita harus mampu menahan sifat-sifat ego kita ini agar bisa menyelamatkan orang lain. Tidak terkecuali misalnya dengan menghadapi serangan virus radikalisme. Penting juga agar para OTG virus radikalisme ini jangan sampai menyebarkan paham-paham radikal itu kepada yang lain juga,” jelas Wakil Direktur Eksekutif Internasional Conference of Islamic Scholar (ICIS).
Selain itu, ia menyampaikan agar seluruh tokoh-tokoh agama harus bisa menjadikan momentum hari raya, untuk edukasi untuk memberikan pencerahan terhadap umat. Apalagi filosofi dan makna dari setiap hari-hari besar adalah meningkatkan ketaatan kepada Allah. Itu bermakna agar manusia bisa hidup dengan memberikan kehidupan yang lebih baik dalam dimensi sosial.
Terlebih, menurutnya, hal itu juga bisa meningkatkan kedisiplinan antar sosial, sehingga dapat tumbuh rasa empati terhadap orang lain yang memunculkan ketaatan dan kedisiplinan dalam aturan yang sudah dibuat pemerintah.
”Kita harus sadar bahwa aturan ini dalam rangka untuk menyelamatkan bangsa. Dan itu menjadi tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh para tokoh agama termasuk para ulama dan kiai untuk memberikan edukasi seperti dalam mimbar-mimbar khutbah Idul Adha kemarin,” terang Khariri
Ia mengingatkan, para tokoh agama agar jangan sampai terjadi sebaliknya yaitu memberikan pemahaman-pemahaman yang justru membangun rasa tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah sehingga nantinya malah ada pembangkangan sosial. Menurutnya, ini justru kebalikan dengan tujuan beragama.
”Jadi habiullah wa ulil amri minkum’ yang artinya ’kita harus taat kepada Allah, taat kepada rasul dan taat kepada ulil amri atau pemerintah’ yang sudah mengambil suatu kebijakan yang tentunya sudah diukur, sudah disesuaikan demi kemaslahatan kita semua agar menjadi lebih baik,” ujarnya.
Pria yang juga pengasuh Pondok Pesantren Algebra, Ciawi ini meyayangkan masih adanya pihak-pihak yang menjadi korban dari provokasi yang salah dari sebagian tokoh masyarakat atau tokoh agama. Menurutnya, mereka ini justru memberikan pemahaman tentang vaksin yang keliru, seperti misalnya Covid-19 ini adalah konspirasi dan vaksin juga adalah bagian dari konspirasi itu
”Atau bisa juga ditakut-takuti bahwa setelah vaksin banyak kejadian yang malah lumpuh, meninggal dan sebagainya. Tapi itu sebenarnya adalah kasuistik, padahal sesungguhnya justru tubuh dan imunitasnya setelah vaksin ini menjadi lebih baik, semakin bisa kuat untuk menahan gempuran Covid-19," kata Khariri.