REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi nonaktif KPK, Hotman Tambunan menilai Dewan Pengawas (Dewas) telah keliru dalam memahami konteks pelaporan terhadap pimpinan KPK. Hotman menilai, kekeliruan itu yang membawa Dewas pada kesimpulan tidak cukup bukti terkait dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK.
"Kami menganggap tidak cukup bukti adalah alasan yang sangat mengada-ada sebab Dewas memiliki wewenang penuh untuk mencari bukti dari data yang kami sampaikan," kata Hotman Tambunan di Jakarta, Sabtu (24/7).
Dia mengatakan, Dewas juga cenderung enggan untuk mendalami laporan terkait dugaan pelanggaran etik tersebut. Dia menjelaskan, hal itu terlihat dari pemeriksaan yang dilakukan Dewas hanya menyasar pada tiga dari 24 orang yang menjadi pelapor dalam perkara tersebut.
"Dan tiga orang yang diperiksa itu juga tidak menguasai semua hal terkait audan ini. Saya konseptor pengaduan nggak diperiksa Dewas," kata Hotman lagi.
Dia menyindir bahwa teknik pemeriksaan Dewas agak berbeda dengan Ombudsman, Komnas Ham dan pengadilan. Dia mengatakan, ketiga lembaga tersebut pasti memeriksa, memintai keterangan atau memberikan kesempatan kepada semua pelapor untuk menjelaskan apa yang mereka adukan.
Hotman lantas merinci hasil pemeriksaan Dewas yang tidak sesuai dengan aduan yang disampaikan. Misalnya terkait pasal sisipan dimana Dewas menilai tidak ada pasal yang disisipkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri dalam perkom yang menjadi landasan hukum Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Dia menjelaskan, konteks aduan terhadap pimpinan menitikberatkan pada pemaksaan kehendak yang dilakukan Firli Bahuri terkait pasal TWK. Padahal dalam pembahasan rapat harmonisasi tidak ada klausul terkait TWK.
Hotman mengatakan, pasal tentang TWK baru muncul saat rapat harmonisasi terakhir. Dia melanjutkan, saat itu berdasarkan rapat harmonisasi antar instansi sejak Agustus hingga Desember 2020 tidak ada klausul pasal terkait TWK.
"Tetapi pada saat draft dibawa ke rapat pimpinan pada Januari 2021, Firli Bahuri bersikeras memasukan pasal TWK. Dan dalam rapat-rapat itu keempat pimpinan lain seperti nggak ada usulan tentang TWK itu," katanya.
Dia mengatakan, kemudian pimpinan menyetujui pasal TWK masuk dalam perkom. Dia menegaskan, penyisipan pasal tersebut membuat rapat harmonisasi yang telah digelar sebelumnya tidak dianggap sama sekali.
Kendati, sambung dia, Dewas menafsirkan lain laporan ini. Dia mengatakan, Dewas berpendapat bahwa Firli Bahuri sendiri yang menambahkan pasal TWK. Artinya, dia melanjutkan, Firli menyisipkan pasal tersebut dalam draft yang sudah disepakati sebelumnya.
"Ya kalau seperti itu maksudnya ya nggak ada cukup bukti dan itu malah bukan etik lagi tapi pelanggaran berat. Jadi ada perbedaan tafsir terhadap temuan kami dengan apa yang dilakukan Dewas," katanya.
Perbedaan tafsir yang menyebabkan penyimpangan hasil pemeriksaan Dewas juga terjadi dalam aduan yang dilakukan pegawai. Mereka mengadukan enam poin aduan selain pasal sisipan tersebut.
Diantaranya yakni pimpinan dilaporkan lantaran tidak melakukan sosialisasi konsekuensi dari TWK, pelanggaran hak kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, hak bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan gender.
Pimpinan juga dilaporkan lantaran dugaan penggunaan TWK untuk memberhentikan pegawai tidak memenuhi syarat (TMS). Juga tentang penerbitan Surat Keputusan (SK) nomor 652 tahun 2021 tentang penyerahan tugas dan tanggungjawab pegawai TMS.
Sebelumnya, pada Jumat (23/7) lalu Dewas menilai bahwa pimpinan KPK tidak melanggar etik terkait pelaksanaan TWK. Dewas mengaku telah mendalami setidaknya 42 bukti rekaman dan dokumen hingga memeriksa terlapor, pelapor, perwakilan Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kemenpan RB dan Kemenkumham.