Ahad 25 Jul 2021 19:26 WIB

Pencegahan Kekerasan Seksual Masih Terhambat Mispersepsi

Kekerasan seksual di institusi pendidikan kerap terbentur masalah mispersepsi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kekerasan seksual di institusi pendidikan kerap terbentur masalah mispersepsi.
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Kekerasan seksual di institusi pendidikan kerap terbentur masalah mispersepsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan seksual bisa terjadi di ranah domestik maupun publik, tak terkecuali di kampus. Berdasar pada penelitian tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2020, yang melibatkan 74 responden dari universitas negeri dan swasta di Indonesia, diketahui bahwa kekerasan seksual di kampus masih kerap terjadi dan 74 persen diantaranya dialami mahasiswa.

Namun demikian, menurut Ahli Hukum dan Gender UI, Lidwina Inge Nurtjahyo, upaya pencegahan kekerasan seksual di institusi pendidikan seperti kampus kerap terbentur dengan masalah mispersepsi. Bukan hanya mispersepsi di kalangan masyarakat biasa, namun juga para politikus.

Baca Juga

Hal ini terbukti ketika BEM UI dan HopeHelps memasukan materi bertema “Cegah Kekerasan Seksual” kepada para mahasiswa/i baru angkatan 2020. Alih-alih mendukung, politikus PKS, Almuzzammil Yusuf, menuding materi tersebut membawa budaya barat berupa seks bebas.

“Sangat disayangkan kenapa ada politikus yang beranggapan seperti itu. Padahal, materi yang kami sampaikan itu bukan untuk memperkenalkan mahasiswa pada seks bebas. No! Tapi untuk melindungi mereka dari kekerasan seksual. Karena seperti yang kita tahu, mahasiswa baru itu masih sangat rentan jadi korban, karena dia masuk ke lingkungan baru,” kata Inge dalam Webinar “Kekerasan Seksual: Support System, Pencegahan, Kampanye dan Hambatan”, Sabtu (24/7).

Inge menegaskan bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual dan menciptakan ruang aman di kampus bukan hanya tanggung jawab para aktivis gender, BEM, ataupun dosen. Itu semua adalah tanggung jawab semua pihak tanpa kecuali.

Sebab merujuk data kekerasan seksual di kampus dari Kemendikbud 2020, lokasi kejadian bisa terjadi di luar kampus misalnya apartemen, kost, lokasi KKN atau kegiatan kampus lainnya. Bentuk kekerasan seksual juga beragam, meliputi perkosaan, rabaan, ucapan tidak senonoh di media sosial, tindakan-tindakan yang bersifat psikologis, verbal dan bahkan melibatkan sarana internet.

“Jadi kekerasan seksual pada kepada para mahasiswa, bisa terjadi dimanapun, dan semua masyarakat harus bisa andil untuk melindungi mereka,” kata dia.

Inge juga menyoroti problem minimnya ruang pengaduan dan konseling bagi korban kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia. Akibatnya, kekerasan seksual masih menjadi fenomena gunung es, yakni banyak kasus terjadi, tetapi tidak berani melapor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement