Senin 26 Jul 2021 12:09 WIB

Polemik Matra Calon Panglima TNI, Ini Catatan Akademisi

Pemilihan calon ketua Panglima TNI harus berdasar profesionalisme

Red: Nashih Nashrullah
Pemilihan calon ketua Panglima TNI harus berdasar profesionalitas. Ilustrasi Defile pasukan TNI.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Pemilihan calon ketua Panglima TNI harus berdasar profesionalitas. Ilustrasi Defile pasukan TNI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam beberapa bulan ke depan atau hanya dalam hitungan hari, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan digantikan  Panglima TNI yang baru. Alasan pergantian karena Hadi akan masuk masa pensiun.  

Sejumlah pengamat militer, atau pertahanan dan keamanan, atau anggota DPR, khususnya komisi I sudah berpendapat tentang kemungkinan siapa yang akan menggantikan Hadi. 

Baca Juga

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, siapapun boleh beropini dan komentar tentang siapa yang berpeluang dan prediksi kemungkinan yang akan menjadi panglima TNI menggantikan Hadi. Akan tetapi keputusan terakhir menjadi hak prerogatif presiden dengan mengacu kepada profesionalisme Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pengajar Pengkajian Stratejik, Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara, menyayangkan satu pendapat yang mengatakan bahwa pergantian panglima TNI harus memikirkan tentang aspek situasi politik menjelang 2024 dan kapabilitas matra tertentu dalam menjaga soliditas di tubuh TNI. “Jika presiden mempertimbangkan pendapat ini, maka sangatlah berbahaya,” terang Robi. 

Ada dua alasan mengapa Robi mengatakan bahwa ini adalah pendapat berbahaya. Alasan pertama, pertimbangan menjelang situasi politik pada 2024 yang kemudian, yang tepat adalah hanya matra darat untuk menjadi panglima TNI. 

Itu artinya, ketika panglima TNI dipimpin matra lain, maka seakan-akan matra lain tidak bisa memiliki kapasitas untuk menjaga soliditas di tubuh TNI sendiri. “Pendapat ini selain berbahaya, cenderung melecehkan institusi TNI,” tambah Robi.

Pendapat seperti ini, kata Robi, jika dibongkar telah beropini seolah-olah bahwa hanya matra tertentu yang memiliki kapabilitas dalam menjaga soliditas di tubuh TNI. Dengan dasar ini, mereka lagi-lagi menyampaikan bahwa Presiden hendaknya memikirkan hal ini dengan memilih Panglima TNI dari matra tertentu yang secara tak langsung mempertanyakan profesionalitas TNI dan pola pengembangan kepemimpinan serta regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI. 

Sebagaimana diketahui, dalam pola kepemimpinan TNI dikenal adanya istilah “rantai komando” dimana seluruh prajurit TNI dari semua matra memahami rantai ini secara baik. Rantai komando adalah seluruh prajurit TNI taat kepada pimpinannya. 

Dalam hal ini, siapapun yang menjadi pimpinan, dari matra apapun seluruh prajurit akan patuh dan dan melaksanakan rantai komando tersebut. Tidak ada tawa-menawar. Hal ini juga termaktub di Sapta Marga kelima TNI. 

Robi kemudian memberi contoh selama selama kepemimpinan Panglima TNI marsekal Hadi juga telah dibuktikan bahwa TNI tetap solid menjalankan perintah-perintah Panglima TNI. 

“Jadi, mengatakan bahwa harus matra tertentu yang memimpin TNI untuk menjaga soliditas prajurit adalah sesuatu yang tidak valid dan pelecehan atas profesionalitas TNI,” terang Robi.

Kemudian alasan kedua, pemilihan panglima TNI dengan mempertimbangan aspek situasi politik menjelang 2024 telah mengembalikan TNI untuk Kembali berpolitik. 

Robi mengatakan ini menyalahi amanat UU TNI yang mana TNI adalah tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. 

Bagi Robi, pilihan aspek ini telah mengabaikan dan menutup mata atas kerja keras dan usaha TNI yang melaksanakan amanat konstitusi dan reformasi membangun TNI yang profesional sesuai dengan amanat UU. “Ingat TNI professional adalah berada di atas semua golongan dan tidak berpolitik apalagi berafiliasi ke partai politik,” kata Robi.

Kedepan Robi berharap bahwa proses pemilihan Panglima TNI harus dipikirkan dengan matang oleh Presiden agar nantinya dapat mengemban tugas-tugas negara dengan baik. Namun, janganlah hal tersebut diarahkan kepada hal-hal yang diluar koridor konstitusi atau malah terkesan melecehkan institusi TNI itu sendiri. TNI harus menjadi Lembaga rakyat yang profesional dan lebih baik lagi ke depannya dengan ide-ide dan gagasan yang baik. 

Robi mengingatkan bahwa siapapun yang dipilih presiden manjadi Panglima TNI pasti bisa mengemban tugas-tugas negara dengan baik dan mampu menjaga soliditas bukan hanya di tubuh TNI namun juga soliditas rakyat Indonesia. Karena UU No 34 tahun 2004 juga menyebutkan bahwa TNI adalah tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara dan diatas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama. 

“Presiden memiliki hak pregoratif dalam menentukan yang sesuai dengan amanat UU dimana tantara kita adalah tantara yang berada di semua golongan, dan tidak berpolitik,” ujar Robi.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement