REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia Kais Saied pada Ahad malam (25/7) mengumumkan bahwa dia telah menangguhkan parlemen sepenuhnya mengambil alih otoritas eksekutif.
Selama pertemuan dengan para pemimpin militer, Saied mengatakan dia telah memutuskan untuk memecat Perdana Menteri Hicham Mechichi. Dia menambahkan bahwa dia juga telah memutuskan untuk mencabut kekebalan semua anggota parlemen, yang dikenal sebagai Majelis Perwakilan Rakyat, dan untuk melakukan penuntutan publik sendiri.
Saied mencatat bahwa dia mengambil keputusan ini dalam konsultasi dengan Mechichi dan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi dan akan mengambil keputusan lain sampai perdamaian sosial kembali ke negara itu.
Sementara itu, Ghannouchi mengatakan langkah Saied tidak lain adalah kudeta penuh terhadap konstitusi Tunisia, revolusi dan kebebasan di negara itu. Dia juga meminta rakyat Tunisia untuk memulihkan demokrasi melalui cara-cara damai karena langkah itu menyeret negara ke dalam "pemerintahan satu orang".
Wakil pemimpin partai Gerakan Ennahda Ali Larayedh juga mengatakan dalam sambutannya kepada saluran berita Al-Jazirah bahwa presiden Tunisia telah melakukan kudeta terhadap konstitusi dan revolusi 2011.
Larayedh mempertanyakan nasib perdana menteri, mengatakan dia diberitahu bahwa Mechichi telah ditahan di istana presiden.
Kepresidenan Tunisia belum mengomentari klaim Larayedh.
Mantan Presiden Tunisia Moncef Marzouki juga mengecam langkah Saied sebagai kudeta penuh serta pelanggaran konstitusi dan hukum. "Masalahnya bukan membela Ennahda tetapi membela demokrasi di negara ini," kata Marzouki.
Dia menambahkan bahwa Saied memberikan dirinya semua kekuasaan, yang bertentangan dengan logika apa pun. Menurut Marzouki, langkah itu tidak akan mengarah pada solusi tetapi kematian yang komprehensif.
Tunisia telah menyaksikan serangkaian aksi protes terhadap pemerintah dan oposisi.