Senin 26 Jul 2021 13:47 WIB

Israel Mulai Penerbangan Komersial ke Maroko

Maskapai Israel berangkat dari Tel Aviv ke Marrakesh dengan bawa sekitar 100 turis.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Fakta di balik normalisasi Maroko dan Israel.
Foto: Aljazirah
Fakta di balik normalisasi Maroko dan Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Dua maskapai penerbangan Israel melakukan perjalanan komersial pertama ke Maroko pada Ahad (25/7). Tahun lalu, kedua negara telah menyepakati normalisasi diplomatik.

Maskapai Israel berangkat dari Tel Aviv ke Marrakesh dengan membawa sekitar 100 turis Israel. Beberapa jam sebelumnya maskapai Israel lainnya, yakni El Al, melakukan perjalanan dengan rute serupa.

Baca Juga

Sebelum perjalanan perdananya, El Al mengataku berencana mengoperasikan lima penerbangan per pekan ke Maroko. “Kami berharap sekarang banyak yang bisa mengenal Maroko lebih baik, untuk mengalami dan merasa senang dengan negara istimewa ini yang berakar kuat pada warisan, budaya, dan pengalaman Israel,” ujar CEO El Al, Avigal Sorek.

Menteri Pariwisata Israel Yoel Razvozov pun menyambut dimulainya penerbangan komersial antara negaranya dan Maroko. Penerbangan akan membantu memajukan pariwisata, perdagangan dan kerja sama ekonomi yang bermanfaat serta perjanjian diplomatik antara kedua negara.

Direktur Kantor Pariwisata Nasional Maroko Adil Fakir mengutarakan perasaan serupa. “Ini momen puncak dari keputusan penting yang diambil Maroko untuk melanjutkan hubungan antara kedua negara,” katanya.

Maroko dan Israel sepakat melakukan normalisasi hubungan diplomatik pada akhir 2020. Kesepakatan tersebut tercapai berkat mediasi yang diperankan pemerintahan mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sebagai bagian dari perjanjian normalisasi, AS setuju mengakui klaim Maroko atas wilayah Sahara Barat yang telah lama dipersengketakan.

Selain Maroko, tahun lalu Israel juga melakukan normalisasi diplomatik dengan tiga negara Muslim lainnya, yakni Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), dan Sudan. Palestina telah mengecam kesepakatan tersebut karena dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap perjuangannya memperoleh kemerdekaan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement