Senin 26 Jul 2021 14:39 WIB

Yordania Jadi Target Salah Sasaran Drone Buatan Iran

Raja Abdullah II khawatir dengan meningkatnya ketegangan di perbatasan Yordania.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Raja Yordania Abdullah II.
Foto: Reuters/Jonathan Ernst
Raja Yordania Abdullah II.

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Raja Yordania Abdullah II mengatakan negaranya 'diserang' pesawat nirawak buatan Iran. Yordania dihantam misil pabrikan Iran yang sebenarnya ditujukan ke Israel, tapi meleset.

Hal itu diungkap Raja Abdullah saat diwawancara CNN pada Ahad (25/7). Ia menyebut teknologi balistik telah meningkat secara dramatis. Pangkalan Amerika Serikat (AS) pernah merasakan menjadi target serangan semacam itu. Arab Saudi pun kerap menerima serangan misil atau rudal dari Yaman.

Baca Juga

Israel pun menjadi target serangan misil dari Suriah dan Lebanon. “Apa yang meleset dari Israel terkadang mendarat di Yordania. Jadi kami memiliki kekhawatiran ini,” kata Raja Abdullah.

Dia menyinggung tentang meningkatnya baku tembak di wilayah perbatasan negaranya. Situasi demikian persis serupa ketika ISIS masih digdaya. “Sayangnya, Yordania telah diserangan oleh drone (pesawat nirawak) yang memiliki tanda khas Iran yang harus kita tangani,” ujarnya.

Menurut Raja Abdullah, terdapat sejumlah masalah yang berkaitan dengan Iran, antara lain lain program nuklir, kemajuan rudal balistik, serangan siber, dan baku tembak di wilayah perbatasan Yordania. “Program nuklir mempengaruhi Israel seperti halnya Teluk,” katanya.

Raja Abdullah pun sempat menanggapi pertanyaan tentang apakah dia lebih setuju Iran kembali ke kesepakatan nuklir atau tidak. “Ada kekhawatiran yang sah di bagian dunia kita pada banyak portofolio yang diharapkan Amerika akan dapat berdiskusi dengan Iran,” ujarnya.

Ia menilai, posisi Iran dan AS dalam pembicaraan tentang menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang berlangsung di Wina, Austria, agak berjauhan. Dia mendorong Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait untuk terlibat dengan Iran guna meredakan ketegangan.

"Mari berharap pembicaraan itu membawa kita ke posisi yang lebih baik di mana kita bisa menenangkan kawasan karena kita memiliki begitu banyak tantangan," kata Raja Abdullah.

JCPOA adalah kesepakatan yang dibuat antara Iran dengan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Cina. JCPOA mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran.

Sejak saat itu, Iran mulai menangguhkan komitmen yang dibuatnya dalam JCPOA, terutama tentang pengayaan uranium. JCPOA mengatur Iran hanya diizinkan memperkaya uranium hingga 3,67 persen. Iran sempat mengumumkan sedang melakukan pengayaan hingga 60 persen. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengonfirmasi proses tersebut.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement