REPUBLIKA.CO.ID, — Pada saat perempuan menikah dan berkeluarga, apakah dia harus meninggalkan pekerjaan yang telah dia lakukan sebelum menikah? Jika dihadapkan antara pilihan berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, bagaimana memilihnya?
Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan Ustadz Oni Sahroni, anggota DSN MUI Pusat yang juga dosen di Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta sebagai berikut.
Pertama, yang menjadi pilihan (prioritas untuk dilakukan) itu tidak bisa dijawab 'yang ini bukan itu' atau 'itu bukan ini' karena sangat bergantung pada kondisi masing-masing keluarga. Kedua, sebelum menimbang alasan setiap pilihan, perlu ditegaskan kembali bahwa perempuan bekerja dan beraktivitas sosial di luar rumah itu diperkenankan menurut syariah.
Bahkan, dalam kondisi tertentu itu dianjurkan atau menjadi keniscayaan dengan ketentuan profesi yang dijalaninya halal, tidak melalaikan tugasnya sebagai istri atau ibu, ada izin suami, serta suami ikut membantu tugas-tugas istri di rumah agar semua tugas keluarga tertunaikan maksimal dan proporsional.
Ketiga, pada umumnya sesuatu menjadi pilihan itu karena manfaatnya lebih banyak dari yang lain atau risiko nya paling ringan. Oleh karena itu, berikut ini beberapa jenis manfaat (maslahat) atau risiko yang harus dimitigasi yang menjadi pertimbangan.
(1) Nyata bahwa banyak sekali peran di dunia profesional, aktivitas sosial, bahkan aktivitas dakwah yang harus diisi oleh kaum hawa. Contohnya, dalam dunia medis pasien perempuan idealnya ditangani oleh dokter perempuan.
Bahkan, aktivitas dakwah di kalangan ibu-ibu dan milenial itu idealnya dikelola oleh kaum hawa. Intinya peran mereka nyata dan dibutuhkan.
(2) Fakta di lapangan bahwa penda patan keluarga itu menjadi keniscayaan. Maksudnya, saat berkeluarga di mana suami sendiri yang bekerja, tetapi peng hasilannya belum mencukupi kebutuh an keluarga secara maksimal sehingga pilihannya bekerja dua-duanya.
(3) Di sisi lain, keluarga harus men jadi prioritas dari ayah dan ibu (suami/ istri) agar dengan waktu tambahan yang dihabiskan oleh istri atau para ibu di luar rumah tidak melalaikan kewajiban terhadap keluarga (suami dan anakanaknya).
(4) Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa istri bekerja di luar atau tidak itu pilihan dan mana yang lebih prioritas itu tergantung kondisi keluarga masing-masing. Ada saatnya pilihan untuk berkarier di luar itu prioritas karena kemampuan untuk mengelola keluarga itu cakap dan istri punya kemampuan untuk berkarier atau berdakwah di luar. Ada saatnya pilihan untuk di rumah itu menjadi prioritas pada saat suami mempunyai kemampun finansial cukup atau misalnya anak-anak membutuhkan perhatian lebih.
Hal ini didasarkan pada.
(1) setiap keluarga harus mandiri agar bisa memenuhi kebutuhan finansial. Jika hal itu bisa dilakukan dengan perempuan ikut serta bekerja, menjadi keharusan.
(2) Hadis Rasulullah SAW, "Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar dari rumah untuk memenuhi hajat dan kebutuhan kalian." (HR Bukhari dan Muslim).
Hajat dan kebutuhan yang disebutkan dalam hadits ini umum dan mutlak. Oleh karena itu, profesi perempuan sebagai seorang pengusaha (pelaku bisnis) itu bagian dari memenuhi kebutuhan di luar rumah.
(3) Sirah, di antara contohnya adalah Asma binti Abu Bakar yang berjualan keluar rumah membawa makanan dan Rasulullah beserta sahabat yang lain tidak melarangnya.
Ummu Qailah pernah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk mengenai pengelolaan jual beli. Zainab binti Jahsy aktif bekerja menyamak kulit binatang, menjualnya, dan sebagian hasil usahanya disedekahkan.
Asy-Syifa, yang ditugaskan Khalifah Umar bin Khattab sebagai petugas yang meng atur manajemen perdagangan Kota Madinah.
Khadijah adalah pebisnis yang sukses dan dijuluki at-Thahirah (bersih suci). Walaupun pengusaha, dia tak melalaikan kewajiban sebagai seorang ibu.
Keempat anaknya menjadi wanita-wanita luar biasa dalam sejarah, sebut saja Zainab, Ruqayah, Ummi Kultsum, dan Fatimah Az Zahra.