Senin 26 Jul 2021 17:31 WIB

Tunisia Bergejolak Usai Presiden Bekukan Parlemen

Polisi mencoba mencegah bentrokan di depan gedung parlemen Tunisia

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Bendera Tunisia
Bendera Tunisia

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Pasukan keamanan Tunisia memblokir pintu masuk gedung parlemen setelah presiden membekukan legislatif dan memecat perdana menteri karena tidak berhasil meredam unjuk rasa yang terjadi di seluruh negeri. Pengunjuk rasa turun ke jalan untuk memprotes masalah ekonomi dan krisis virus corona.

Demonstran menyambut keputusan Presiden Kai Saied dengan suka cita. Mereka membunyikan klakson mobil dan mengibarkan bendera Tunisia. Namun kritikus mengatakan langkah Saeid mengancam demokrasi Tunisia yang masih muda.

Baca Juga

Pada Senin (26/7), polisi mencoba mencegah bentrokan di depan gedung parlemen antara pendukung partai sayap Islam, Ennahdha, yang berkuasa di Majelis Perwakilan Rakyat Tunisia dengan pengunjuk rasa. Pembubaran parlemen memang menjadi salah satu tuntutan pengunjuk rasa.

Ahad (25/7) kemarin mereka turun ke jalan, mengabaikan peraturan pembatasan sosial virus corona, dan terik matahari. Demonstran yang sebagian besar adalah anak muda berteriak 'turun' dan menuntut pemilihan umum lebih cepat serta reformasi ekonomi. Terjadi bentrokan di beberapa daerah.

Tunisia mengalami kesulitan ekonomi selama bertahun-tahun dan karantina virus corona memperburuk keadaan. Tunisia mengalami salah satu wabah terburuk di Afrika. Presiden mengatakan ia memecat perdana menteri dan menangguhkan legislatif karena khawatir dengan kekerasan di masyarakat.

"Kami ambil langkah-langkah ini, sampai perdamaian sosial kembali ke Tunisia dan sampai negara kami aman," katanya dengan pakaian ala militer di televisi.

Ketua parlemen dan pemimpin partai Ennahdha, Rached Ghannouchi, mengatakan ia mencoba masuk ke gedung parlemen pada Ahad (25/7) malam. Akan tetapi pasukan militer dan polisi yang berjaga menghalanginya. Pada Senin (26/7) pagi Ghannouchi memarkirkan mobilnya di depan gedung parlemen. Belum diketahui langkah Ghannouchi selanjutnya.

Ia menyebut langkah presiden 'adalah kudeta yang melanggar konstitusi dan revolusi' (Arab Spring). Ghannouchi menekankan agar parlemen kembali bekerja. Sementara Saied mengatakan langkahnya sesuai dengan undang-undang.

Saied mengunjungi pengunjuk rasa di Avenue Bourguiba, pusat unjuk rasa yang menggulingkan pemerintahan otokrasi pada 2011 lalu. Ia memperingatkan siapa pun yang merusak ketertiban umum akan mendapatkan hukum berat.

Presiden mengutip pasal di Konstitusi Tunisia yang mengizinkannya mengambil 'langkah luar biasa dalam peristiwa berbahaya yang mengancam institusi-institusi negara dan kemerdekaan negara dan menghambat fungsi regular kekuasan publik'.

Langkah itu membuatnya dapat mengambil alih kekuasaan eksekutif dan membekukan parlemen dalam waktu yang tidak ditentukan hingga institusi dapat kembali bekerja dengan normal. Namun Ghannouchi mengatakan presiden tidak melakukan pembicaraan dengannya atau perdana menteri seperti yang disyaratkan dalam pasal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement