REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat kembali menggelar Annual Conference on Fatwa Studies atau Konferensi Fatwa MUI secara daring pada 26-28 Juli 2021. Konferensi ini digelar untuk meningkatkan kualitas Komisi Fatwa MUI.
Ketua Panitia Konferensi Fatwa MUI KH Miftahul Huda menyampaikan dalam konferensi ini telah diundang 50 artikel yang terpilih untuk dipresentasikan pokok dan ide pemikirannya. Sekaligus untuk menyampaikan kritiknya terhadap Komisi Fatwa MUI dan produk-produk fatwanya selama ini.
"Oleh karena itu kami berharap dari berbagai pihak khususnya yang hadir dalam kesempatan ini masukannya, kritik positifnya, demi membangun perbaikan lembaga komisi fatwa serta memperbaiki kualitas yang dihasilkannya," kata KH Miftahul saat pembukaan Konferensi Fatwa MUI, Senin (26/7).
Ia menyampaikan Konferensi Fatwa MUI pada tahun ini adalah yang kelima kalinya diselenggarakan Komisi Fatwa MUI. MUI menjadikan konferensi ini sebagai program tahunan. Momen yang diambil untuk menggelar acara ini adalah momen Milad MUI.
"Konferensi fatwa ini diselenggarakan untuk kepentingan muhasabah serta upaya melakukan otokritik perjalanan MUI khususnya komisi fatwa," ujarnya.
Di forum yang sama, Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan MUI dalam benak masyarakat tergambar sebagai lembaga pembuat fatwa. Begitu disebut nama MUI, maka dalam pikiran publik akan tergambar mengenai fatwa.
Ia mengungkapkan, demikianlah memang khittah kelahiran MUI pada 46 tahun yang lalu. MUI lahir bersamaan dengan fatwa-fatwa keagamaan yang kemudian diarahkan untuk menjadi pedoman dan panduan bagi umat di dalam menjalankan aktivitas agama. Selain itu, menjadi pedoman bagi pemerintah di dalam menetapkan kebijakan publik.
"Khususnya (kebijakan publik) yang beririsan dengan masalah keagamaan, sehingga memang khittah-nya berada dalam dua posisi yang kemudian terkenal dengan istilah khadimul ummah (pelayan umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah)," ujarnya.