REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan menambah jalur distribusi untuk mempercepat penyaluran obat COVID-19 ke berbagai apotek. "Ini bukan masalah harga lagi, ini adalah masalah distribusinya dan GP Farmasi (Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia) akan membantu kita mendistribusikan ke sekitar 12 ribu apotek aktif di Indonesia," kata Menkes Budi Gunadi di Kantor Presiden Jakarta, Senin (26/7).
Seperti diketahui pada Jumat (23/7), Presiden Joko Widodo sempat mengecek ketersediaan obat di satu apotek di Kota Bogor. Saat itu, Presiden Jokowi mendapati tidak ada lagi obat Oseltamivir, Fapiravir, dan Azithromycin yang biasa menjadi obat untuk penderita COVID-19.
Budi Gunadi menargetkan ada 9.000 apotek yang mendapat distribusi obat secara konsisten demi menstabilkan suplai obat di seluruh Indonesia. Selanjutnya, menkes menjelaskan bahwa selain lewat apotek, Presiden Jokowi juga memerintahkan untuk membuka jalur baru distribusi obat COVID-19.
"Jalur yang pertama adalah melalui TNI. Jadi kalau ada yang terkena positif bisa melapor ke Puskesmas terutama rakyat kita yang ada di pelosok desa. TNI ini nanti akan mengirimkan langsung obatnya ke mereka, memang kuncinya harus di cek melalui puskesmas. Bapak Presiden sudah mengarahkan 2 juta paket obat akan kita kirim melalui TNI," ungkap Budi.
Jalur selanjutnya adalah dengan mengakses melalui ‘telemedicine’."Jadi ada 11 perusahaan 'telemedicine' yang sudah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan memberikan jasa konsultasi dokter gratis dan jasa pengiriman obat gratis," tambah Budi.
Namun, ia mengakui bahwa ‘telemedicine’ baru diluncurkan di seluruh ibukota provinsi di Pulau Jawa dan Bali dan rencananya nanti akan diperluas ke seluruh Indonesia. Kementerian Kesehatan juga telah meluncurkan situs https://farmaplus.kemkes.go.id/ untuk memudahkan masyarakat mengecek ketersediaan obat dan vitamin, terutama bagi pasien COVID-19.
Situs tersebut mencakup lebih dari 2.100 apotek di seluruh provinsi di Indonesia. "Jadi obat ini adalah obat yang harus diberikan dengan resep. Untuk 3 obat Gammaraas, Actemra, dan Remdisivir, itu harus disuntikkan dan hanya bisa dilakukan di rumah sakit. Jadi tolong biarkan obat-obatan ini dikonsumsi sesuai prosedurnya," kata Budi.
Ia menyebut telah melihat sejumlah pihak yang ingin membeli sendiri obat-obatan tersebut dan disimpan di rumah karena takut. "Kasihan yang sakit, kalau kita sebagai orang sehat ingin menyimpan obat, bayangkan 20 juta keluarga menengah ingin beli Azithromycin maka satu paket berisi 5 tablet maka 100 juta obat akan tertarik dari apotek dan disimpan di rumah sebagai stok padahal obat-obat ini harusnya dipakai dengan resep untuk orang yang sakit. Kami minta tolong agar obat ini dibeli oleh orang-orang yang membutuhkan bukan dibeli untuk stok," kata Budi.